Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 18, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

👁️ 1 views   🕒 30 min read   🧑‍💻 7 users online

Pendahuluan: Bahaya وسوسة (Waswas) dalam Bersuci

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

Pada malam ini, إن شاء الله (insya Allah), kita akan membahas tiga أحاديث (hadis), yaitu nomor 26, 27, dan 28. Semua الحديث ini berkaitan dengan masalah الطهارة (Thaharah) dan masih dalam pembahasan yang sama seperti kemarin. Kemarin, kita telah membahas tentang باب في المذي (Bab tentang Madzi). Pada pembahasan pertama mengenai المذي (al-madzyi), telah kita lewati dan pelajari. Kali ini, kita akan membahas tentang البول (al-baul) atau air kencing. Ini merupakan permasalahan yang sering dirasakan kebanyakan orang, di mana البول ini dapat menjadi penyebab عذاب القبر (‘adzaabul qabri – siksa kubur) bagi orang yang tidak memperhatikannya. Akan tetapi, sebagian orang, ketika ingin berhati-hati, justru berlebihan hingga sampai pada perasaan dan sikap وسوسة (waswas).

وسوسة itu dimulai dari masalah air kencing. Ketika seseorang merasa bersucinya kurang sempurna atau merasa ada sesuatu yang keluar, kemudian perasaan itu berpindah kepada masalah الوضوء (wudu). Setelah itu, berpindah lagi kepada masalah الصلاة (shalat), hingga akhirnya mencakup semua urusan dan aktivitasnya, bahkan sampai pada masalah العقيدة (akidah). Hal ini sangat berbahaya. Oleh karena itu, para العلماء (ulama) membuat kaidah agar seseorang bisa mematahkan perasaan وسوسة tersebut. Pernah kita sampaikan bahwa وسوسة ini merupakan penyakit yang bisa dirasakan semua orang. Perbedaannya, jika ada orang yang menuruti (perasaan waswas itu), maka ia akan menjadi budak وسوسة. Maka, harus dilawan. Tidak ada cara lain kecuali untuk meyakinkan diri. Antum melihat betapa kasihannya orang yang mengalami وسوسة; الصلاة-nya seolah tidak pernah صحيح (shahih) atau tidak pernah sah, sehingga ia terus mengulang-ulanginya. Jika tidak mengulang, ia merasa seolah-olah belum الصلاة. Ini baru dalam الصلاة, bagaimana dengan sekadar تكبير (takbir)? Ia bersusah payah untuk bertكبير, mengulanginya berkali-kali. Termasuk ketika ia bersuci, barangkali seluruh badannya telah diguyur air seperti orang berenang, namun ia masih merasa ada najis padanya. Maka, dalam الشريعة (syariat) kita, kita akan mempelajari bahwa وسوسة atau peluang untuk hal seperti itu harus ditepis. Terkadang memang شيطان (syaitan) ada pengaruhnya untuk itu, akan tetapi dalam الشريعة itu sendiri ada anjuran untuk menepis perasaan-perasaan dan prasangka tersebut.

Hadis ke-26: Keraguan Saat Salat (Riwayat عبد الله بن زيد رضي الله عنه)

Baik, الحديث yang pertama adalah الحديث ke-26, dari عبد الله بن زيد بن عاصم المازني الأنصاري (Abdullah bin Zaid bin Ashim al-Mazini al-Anshari) رضي الله عنه. Beliau ini seorang أهل المدينة (penduduk Madinah). عبد الله رضي الله عنه termasuk sahabat yang mulia. Dipertentangkan apakah beliau ini masuk الإسلام (Islam) lebih dahulu sehingga ikut غزوة بدر (Perang Badar) atau tidak. Ada yang mengatakan bahwa perang pertama yang beliau ikuti adalah perang أحد (Uhud). Para ahli sejarah menyatakan beliau punya saudara bernama حبيب بن زيد (Habib bin Zaid). Orang ini dibunuh oleh مسيلمة الكذاب (Musailamah al-Kadzab) ketika terjadi peristiwa perang untuk memerangi orang-orang مرتدين (murtadin), termasuk yang mengaku نبي (nabi). Maka, عبد الله berusaha ikut dalam pertempuran itu, dengan keinginan untuk membunuh مسيلمة. Pembunuh حمزة (Hamzah رضي الله عنه) di perang أحد adalah وحشي (Wahsyi), yang kemudian sebagai tebusan (atas kesalahannya di masa lalu), ia membunuh مسيلمة الكذاب. عبد الله بن زيد ini berusaha untuk membersamai وحشي dalam membunuh مسيلمة الكذاب.

Diriwayatkan dalam صحيح البخاري (Shahih Bukhari), beliau (Abdullah bin Zaid رضي الله عنه) terkait dengan kejadian الحَرَّة (al-Harrah). Kejadian الحَرَّة ini—الحَرَّة adalah nama sebuah tempat di المدينة المنورة (Kota Madinah)—yang artinya adalah padang atau tanah lapang yang di bagian atasnya ada batu-batuan hitam. Di المدينة المنورة sampai sekarang masih ada tempat seperti itu. Kalau ada orang yang ke bandara dan dia turun di المدينة, dia akan melewati tempat itu. Namanya الحَرَّة. Di المدينة ada dua الحَرَّة, artinya adalah tanah yang dipadati di atasnya dengan batu-batu berwarna hitam.

Kejadian الحَرَّة dalam sejarah merupakan kejadian memprihatinkan dan menyedihkan, yang terjadi pada tahun 63 هجرية (Hijriyah). Ketika itu, يزيد بن معاوية (Yazid bin Muawiyah) menggantikan ayahnya, معاوية (Muawiyah رضي الله عنه), dan mereka berada di الشام (Syam). Di negeri الشام itulah mereka menjadikan pusat pemerintahan بني أمية (Bani Umayyah). Ketika يزيد بن معاوية memerintah, banyak orang yang tidak setuju karena usianya yang dinilai masih muda. Kemudian, banyak sekali kritikan-kritikan dari sisi أخلاق (akhlak). Disebutkan oleh ahli sejarah seperti ابن كثير (Ibnu Katsir) رحمه الله dan juga الذهبي (Adz-Dzahabi) رحمه الله, bahwa kritikan itu bukan kritikan seperti yang dilontarkan oleh kaum روافض (Rawafidh) yang mengatakan bahwa يزيد بن معاوية كافر (kafir), bahkan melakukan tindakan نفاق (nifaq) atau kufur مرتد (murtad). Sebagian (ahli sejarah) tidak sampai seperti itu. Akan tetapi, kritikan kepada يزيد بن معاوية adalah dari sisi أخلاق, seperti ada yang menyebutkan beliau minum خمر (khamr), ada yang mengatakan dia melakukan hal-hal yang tidak pantas secara moral, يَأْتِي القَذِرَات (melakukan perbuatan kotor), sampai dikatakan seperti itu. Sehingga, banyak yang protes, termasuk di antaranya sebagian penduduk المدينة المنورة. Waktu itu, di المدينة المنورة masih banyak para الصحابة النبي صلى الله عليه وسلم (sahabat Nabi ﷺ), karena masa pemerintahan يزيد بن معاوية belum lama setelah علي بن أبي طالب (Ali bin Abi Thalib رضي الله عنه) meninggal, digantikan معاوية رضي الله عنه, kemudian معاوية diganti dengan anaknya, يزيد بن معاوية. Belum lama sekali, para الصحابة masih banyak.

Kemudian, ada beberapa orang yang membaiat dua orang: yang satu namanya عبد الله بن حنظلة (Abdullah bin Hanzhalah), dia sebagai perwakilan atau أمير (amir) orang-orang الأنصار (Anshar). Kemudian, yang satu namanya عبد الله بن مطيع (Abdullah bin Muthi’), dia sebagai perwakilan orang-orang المهاجرين (Muhajirin). Kedua orang ini, oleh الحافظ ابن حجر (Al-Hafizh Ibnu Hajar) رحمه الله disebutkan dalam biografi para الصحابة, akan tetapi (dianggap) salah dalam hal ini. Kedua orang ini mengajak penduduk المدينة untuk melakukan kudeta, yaitu tidak taat kepada يزيد بن معاوية. Sampai hal ini dibantah oleh عبد الله بن عمر (Abdullah bin Umar رضي الله عنهما). Dalam صحيح مسلم (Shahih Muslim), عبد الله بن عمر رضي الله عنهما datang kepada عبد الله بن مطيع dan mengatakan, “Aku mendengar حديث النبي صلى الله عليه وسلم: ‘من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له, ومن مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية’ (Barangsiapa melepaskan tangan dari ketaatan (kepada pemimpin), maka ia akan mendatangi atau menghadap الله pada hari kiamat tanpa memiliki حجة (hujah) sama sekali. Dan barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak berbaiat kepada pemimpinnya, maka ia mati seperti kematian orang جاهلية (jahiliyah)).” Ini ditegaskan oleh عبد الله بن عمر رضي الله عنهما untuk membantah عبد الله بن مطيع, karena عبد الله بن مطيع ingin membaiat orang-orang المهاجرين yang tinggal di المدينة agar mereka memberontak kepada يزيد بن معاوية. Tapi, hal ini tidak disepakati oleh عبد الله بن عمر رضي الله عنهما. Beliau termasuk sahabat yang mulia.

Termasuk di antaranya, عبد الله بن زيد (yang meriwayatkan hadis ini). Dalam صحيح البخاري dikatakan, ada seorang datang kemudian mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang banyak sekali yang membaiat عبد الله بن مطيع untuk siap mati.” Mati untuk apa? Untuk mengkudeta يزيد بن معاوية. Maka kata عبد الله (bin Zaid atau bin Umar, umumnya merujuk pada Abdullah bin Umar dalam konteks ini), “Tidak ada orang yang pantas untuk aku berikan tanganku untuk berbaiat untuk kematian setelah رسول الله صلى الله عليه وسلم. Aku siap mati untuk membela beliau, agama beliau, dan semua yang beliau perintahkan. Tapi sekarang, tidak.” Bahkan, itu termasuk salah satu kondisi فتنة (fitnah) di zaman itu. Setelah itu, terjadi pembunuhan massal.

عبد الله بن عمر رضي الله عنهما sudah mengingatkan berkali-kali. عبد الله بن مطيع waktu itu adalah perwakilan المهاجرين. Padahal, dalam beberapa riwayat disebutkan, ia datang sebagai utusan untuk menghadap atau membaiat (Yazid), bahkan sampai di sana diistimewakan oleh يزيد بن معاوية. Ini sahabat, dari المدينة, diistimewakan, bahkan dikasih uang banyak. Waktu itu, ada datang beberapa anak (para sahabat) yang ikut bersama عبد الله بن مطيع, mereka adalah anak-anaknya. Akan tetapi, ketika pulang, ternyata yang disebutkan adalah (keburukan Yazid), sehingga banyak orang yang menurut. Ini عبد الله بن مطيع, seorang yang shalih. Bahkan عبد الله بن عمر رضي الله عنهما sampai mengumpulkan keluarganya. Ini menunjukkan bahwa (kudeta) ini bukan مذهب السلف (mazhab Salaf).

Ada sebagian orang mengatakan bahwa kudeta sebagai الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر (amar ma’ruf nahi munkar) adalah مذهب السلف. Sebagian orang mengatakan demikian. Jadi, kalau kita menjelek-jelekkan pemerintah dengan alasan الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر atau terang-terangan dalam memberi nasihat adalah مذهب السلف, ini salah besar. Alasannya adalah ini perkataan عبد الله بن عمر dan bagaimana عبد الله بن مطيع diingkari oleh para الصحابة. Sehingga para الصحابة, bahkan kejadiannya disayangkan oleh kebanyakan العلماء seperti ابن كثير رحمه الله dalam البداية والنهاية (Al-Bidayah wan Nihayah). Beliau katakan, “Seandainya mereka tidak seperti itu, maka darah kaum المسلمين akan bisa terjaga.” Tetapi setelah itu, عبد الله بن عمر رضي الله عنهما kumpulkan keluarganya, dikumpulkan semuanya, kemudian mengatakan, “إني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ‘ينصب لكل غادر لواء يوم القيامة'” (Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Akan ditancapkan bagi setiap pengkhianat sebuah panji pada hari kiamat’). Dalam beberapa riwayat dikatakan, tanda itu akan ditancapkan di pantatnya, ini sebagai bentuk penghinaannya. Ketika orang dikasih tanda, “Inilah pengkhianat,” ditancapkan di pantatnya, kemudian diketahui oleh semua orang, “Ini pengkhianat, ini adalah pengkhianat.” Dan di antara pengkhianatan paling besar adalah seseorang membaiat orang lain untuk baiat kepada الله dan رسوله, setelah itu dia ingkari, bahkan dia kudeta, dia keluar memberontak, dan sebagainya. “Jangan sampai ada di antara kalian yang berani-beraninya memberontak kepada يزيد بن معاوية. Kalau ada yang seperti itu, maka dia sudah bukan keluargaku, dia bukan saudaraku, tidak akan aku akui lagi.” Ini menunjukkan sikap عبد الله بن عمر رضي الله عنهما.

(Terkait Abdullah bin Umar رضي الله عنهما) Beliau dizalimi, dalam beberapa riwayat (disebutkan) tertusuk dengan pisau yang diracun oleh orang-orang الحجاج بن يوسف (Al-Hajjaj bin Yusuf), yaitu orang-orangnya pemerintah waktu itu. Beliau menjadi teladan untuk tidak memberontak demi مصلحة (maslahat) kaum المسلمين. Ketika akhirnya banyak orang-orang yang terpengaruh dengan عبد الله bin مطيع yang siap untuk mengkudeta, akhirnya mereka keluar untuk melawan يزيد بن معاوية. يزيد marah besar, akhirnya dia mengirim pasukan dengan pimpinan orang yang terkenal bengis, namanya مسلم بن عقبة (Muslim bin Uqbah). Sejarah merubah namanya bukan مسلم tapi مسرف (Musrif), orang yang melampaui batas, kurang ajar sekali. Dia datang ke المدينة, kemudian dia serang. Banyak orang-orang yang menentang, termasuk para الصحابة, banyak sekali yang dibunuh: laki-laki, wanita, anak-anak. Dan dia ini sampai menunjukkan bahwa dia sudah menang sekali. Bahkan ada beberapa referensi, tapi والله أعلم (wallahu a’lam) ini benar atau tidak, sampai mereka dikatakan melakukan استباحة المدينة (istibahatul Madinah), artinya menganggap المدينة sudah halal untuk diapa-apakan, terserah penduduk المدينة. والله أعلم apakah ini benar atau tidak. Para باحثين (peneliti), mereka setiap sampai kepada (pembahasan) ini, (menyatakan) والله أعلم maksudnya apa dan apakah benar atau tidak. Kata-kata استباحة, menganggap مباح (mubah), menganggap halal, ini artinya sudah diperlakukan seperti tawanan dan sebagainya, perempuannya entah diapakan. والله أعلم, kita tidak berani berbicara tentang sesuatu yang tidak diketahui. Tapi yang jelas, disebutkan oleh ابن كثير رحمه الله dan juga para العلماء, mereka mengatakan bahwa kejadian الحَرَّة adalah kejadian yang memprihatinkan dan menyedihkan sekali, ketika banyak penduduk المدينة terbunuh. Yang terbunuh itu orang-orang عوام (awam), banyak العلماء dibunuh, gara-gara ulah kedua orang tadi (Abdullah bin Hanzhalah dan Abdullah bin Muthi’). Dan ini menjadi pelajaran betapa sebuah kegiatan, keyakinan, atau sikap, apabila tidak dipertimbangkan atau tidak merujuk kepada فتوى (fatwa) atau pendapat para العلماء, (akibatnya) bahaya sekali, bahaya. Intinya, عبد الله بن زيد رضي الله عنه (perawi hadis ke-26) termasuk orang yang meninggal di kejadian الحَرَّة itu.

Konteks Pelajaran dari Kisah أسامة بن زيد رضي الله عنهما (sebagai sisipan, relevan dengan sikap dalam fitnah):

Ketika diajak untuk baiat, untuk perang atau melawan (dalam konteks fitnah lain), beliau (Abdullah bin Zaid atau konteks merujuk pada sahabat lain yang mengambil sikap serupa seperti Usamah bin Zaid) tidak mau, “Tidak, sudah.” Banyak para الصحابة, ketika ada فتنة pertempuran karena politik, mereka (memilih diam). أسامة بن زيد (Usamah bin Zaid رضي الله عنهما), beliau ini pernah membunuh orang. Antum tahu ceritanya, ketika perang dengan orang كافر (kafir), akhirnya orang كافر ini menyerang sampai (pasukan Muslim) kelabakan. أسامة berhasil mengenai orang ini dan akan menusuknya, (orang kafir itu) bilang, “لا إله إلا الله” (Laa ilaaha illallaah). أسامة (tetap membunuhnya). Ini singkat cerita. رسول الله صلى الله عليه وسلم mendengar, marah sekali, marah. Sampai akhirnya أسامة ini dikatakan, “أفلا شققت عن قلبه؟” (Kenapa kamu tidak bedah sekalian dadanya biar kamu tahu ini orang لا إله إلا الله-nya ikhlas apa tidak?). Maksudnya itu adalah perintah untuk memarahi أسامة. Kata أسامة, “Aku sampai ingin aku belum masuk الإسلام waktu itu,” karena dimarahi sekali. Tapi manfaatnya, ketika terjadi فتنة عثمان (fitnah di zaman Utsman رضي الله عنه), أسامة tidak mau ikut-ikutan. Beliau di rumahnya saja, tidak mau ikut-ikutan. Dan ini menjadi teladan ketika kita menghadapi فتنة, gonjang-ganjing, kacau, orang semua sedang bingung, tidak mengerti yang benar yang mana, apakah ikut suara terbanyak atau bagaimana, maka diam adalah solusi. Jangan ikut-ikutan, padahal kita tidak mengerti apa-apa.

(Kembali ke Hadis Abdullah bin Zaid tentang Keraguan dalam Salat)

Ini (pembahasan sejarah) menjadi panjang. Ada yang dikeluhkan kepada النبي صلى الله عليه وسلم. Siapa yang mengeluhkan ini? Dalam (riwayat) البخاري, dikatakan bahwa penanya inilah yang mengeluhkan. Dan dalam beberapa riwayat, seperti yang disebutkan الحافظ ابن حجر dalam riwayat ابن خزيمة (Ibnu Khuzaimah), bahkan disebutkan bahwa yang bertanya adalah عبد الله بن زيد sendiri. عبد الله بن زيد رضي الله عنه berkata, “شُكِيَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلاةِ” (Dikeluhkan kepada Nabi ﷺ tentang seseorang yang يُخَيَّلُ إِلَيْهِ (dikhayalkan/terbayang padanya) bahwa ia mendapatkan sesuatu dalam الصلاة).

“يُخَيَّلُ” (yukhoyyalu) secara bahasa artinya mengira. Itu artinya seseorang membandingkan yang benar atau yang salah, pilihan ini atau yang itu. (Namun) tidak, itu (bukan hanya) maknanya. Tapi orang yang يُخَيَّلُ, orang menyangka ada sesuatu ketika dia الصلاة. Dia katakan, dia mendapatkan sesuatu dalam الصلاة-nya. Maksudnya, الحافظ ابن حجر mengatakan, keluar حدث (hadas) yang membatalkan الصلاة-nya, tapi itu persangkaan saja. Dia menyangka ada sesuatu yang keluar. Maka pertanyaan dengan redaksi ini menunjukkan الصلاة. Dalam مذهب المالكية (Mazhab Maliki) sampai dikatakan bahwa kalau begitu, kalau di luar الصلاة tidak seperti ini pembahasannya. Pembahasan yang ada dalam jawaban النبي صلى الله عليه وسلم adalah berkaitan dengan orang yang الصلاة. Jawabannya bagaimana? “فَقَالَ: لا يَنْصَرِفُ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا” (Maka beliau bersabda: ‘Janganlah ia berpaling/keluar (dari salatnya) hingga ia betul-betul mendengar sebuah suara atau mencium suatu bau’). Dalam riwayat البخاري dikatakan, tidak membatalkan الصلاة-nya sampai dia betul-betul mendengar sebuah suara dari tempat keluarnya (hadas) atau dia membau atau mencium bau sesuatu.

Kenapa tidak dikatakan “يَشُمَّ رِيحًا” (yasymumma riihan – mencium bau) tapi dikatakan “يَجِدَ رِيحًا” (yajida riihan – mendapatkan bau)? “يَجِدَ” artinya mendapatkan, ini agar lebih umum dan lebih mencakup yang lain. Karena kalau mencium saja, seringkali orang memahami kalau kentutnya banyak atau menimbulkan bau. Tetapi kalau seandainya ada orang yang tidak mencium itu, tetapi dia ragu ini keluar apa tidak, akhirnya dia memasukkan tangannya ke duburnya kemudian dia cium tangannya, ini tidak termasuk “mencium” (secara pasif) karena dia mencari tahu. Ya, kan? Kalau mencium itu, baunya datang baru dia rasakan tanpa ada unsur kesengajaan. Tapi ini sekarang, karena dia ragu sekali, akhirnya dimasukkan tangannya ke dalam duburnya, maka dia cium apakah keluar sesuatu atau tidak. Diungkapkan kata-kata “وِجْدَان” (wijdaan) atau “mendapatkan” agar umum, semua yang berbentuk keraguan yang akhirnya dia cari kepastiannya, ini masuk dalam hukum yang sama. Dalam الحديث ini dikatakan bahwa orang yang الصلاة kok ragu keluar (sesuatu) apa tidak, maka dia tidak boleh keluar (dari الصلاة).

النووي (Imam An-Nawawi) رحمه الله beliau menyebutkan, dalam الحديث ini ada sebuah kaidah yang digunakan para العلماء: “الأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ” atau “الأَشْيَاءُ بَاقِيَةٌ عَلَى أُصُولِهَا” (Segala sesuatu tetap pada hukum asalnya). Tidak boleh diragukan, “Oh, dia sudah berubah hukumnya,” tidak boleh, sampai betul-betul ada sesuatu yang menunjukkan perbedaan. Maka, asal hukumnya orang tidak batal (wudhunya), maka dia suci. Dan ini diyakini oleh جمهور العلماء (jumhur ulama). Mereka mengatakan bahwa الصلاة seseorang dalam keadaan sah sampai pembatal dari الوضوء-nya betul-betul ada, baru الصلاة-nya tidak (sah). Tapi kalau tidak ada, masih ragu, prasangkaannya begini, maka ini harus ditepis. Hukum asalnya الصلاة seseorang tidak terganggu seperti ini. Dan ini merupakan مذهب جمهور (mazhab jumhur). Mereka mengatakan الصلاة seseorang sah, tidak terganggu dengan perasaan-perasaan. Maka dikatakan, keraguan yang tiba-tiba datang untuk mengganggu ini tidak berpengaruh pada sebuah hukum, hanya sekadar keraguan.

Ini kalau kentut begitu. Maka, والله أعلم, termasuk kebanyakan orang yang kadang-kadang, “Oh, ini jangan-jangan kencing saya belum selesai.” Kalau seandainya memang dia سلس البول (salisul baul), artinya kencingnya memang tidak bisa terputus karena dia sakit, misalkan seperti orang tua sebagian, atau orang yang sakit, maka dia memang harus berobat. Dan nanti dia akan bersikap seperti orang-orang yang sakit: bagaimana caranya dia bersuci, kemudian berوضوء ketika mendekati الصلاة, kemudian dia tutup tempat untuk keluar kencing itu, lalu dia الصلاة. Setelah itu, walaupun keluar, maka tidak dianggap karena dia sedang sakit dan dia الصلاة dalam keadaan seperti itu. Misalkan dia pakai pampers atau dia pakai penutup yang tidak membuat najis itu tersebar ke semua pakaiannya. Tapi yang jelas, الصلاة-nya صحيح (shahih) bagi orang yang سلس البول seperti itu, meskipun dia dalam kondisi الصلاة keluar (air kencingnya), tidak apa-apa karena dia memang sakit. Tapi setelah itu, para العلماء mengatakan dia tidak menjaga الوضوء-nya karena memang keluar itu, jadi batal. Kalau dia sudah mau الصلاة, baru dia bersihkan dulu, kemudian dia berوضوء. Setelah itu, kalau masih keluar, maka tidak apa-apa.

Ini kalau سلس البول. Terkadang memang keluar karena memang kurang bersih dalam bersuci, maka sebenarnya harus dibersihkan. Tapi yang repot adalah orang yang hanya merasa, setiap berوضوء kayak ada yang keluar, setiap mau berangkat ke masjid harus mampir ke tempat (toilet) terlebih dahulu. Sudah berوضوء di rumah, barangkali kalau di jalan ada tempat wudu, dia berhenti di sana karena sangking besarnya perasaan وسوسة. Maka yang seperti ini harus dilawan. المالكية (Ulama Malikiyah) mereka mengatakan, الحديث ini berkaitan dengan الصلاة. Kalau ada orang yang ragu dalam الصلاة-nya, maka dia tidak perlu memperhatikan keragu-raguannya. Tapi kalau di luar الصلاة, maka dia perlu berوضوء. Ini kata مذهب الإمام مالك (mazhab Imam Malik). Tapi dibantah oleh (pendapat jumhur berdasarkan keumuman) الحديث ini. الإمام مالك رحمه الله berhati-hati, lebih berhati-hati, karena seorang penjaga sebelum dia melaksanakan الصلاة, ini bagus untuk menjaga kesucian. Tetapi الحافظ ابن حجر رحمه الله mengatakan, “Ini justru meneliti dalil-dalil.” Dalil-dalil justru mengatakan, “Kalau kamu mendapatkan ini, jangan keluar (dari salat).” Kata الحافظ ابن حجر, tidak ada pembeda antara (dalam) الصلاة maupun di luar الصلاة. Kalau seandainya di luar الصلاة membatalkan, di dalam الصلاة membatalkan, maka رسول الله صلى الله عليه وسلم tidak mungkin mengatakan, “Jangan keluar,” karena dia membatalkan. Kalau memang di luar الصلاة (juga berlaku sama), tidak dibedakan antara di dalam maupun di luar الصلاة. Apalagi dalam صحيح مسلم redaksinya lebih umum, dikatakan di situ, “إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لا فَلا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا” (Apabila salah seorang di antara kalian merasa dalam perutnya ada sesuatu, maka membuat dia bingung apakah keluar darinya sesuatu atau tidak, maka janganlah ia keluar dari masjid hingga ia mendengar suara atau mendapatkan bau). Ini الحديث yang menunjukkan umum.

Sehingga Sebagian العلماء mengatakan, الحديث yang berkaitan “jangan kamu keluar” ini hanya berkaitan dengan orang yang punya وسوسة. Kalau orang tidak punya وسوسة, kok dia merasa ragu, maka dia perlu keluar. Ini Sebagian العلماء (berpendapat) itu. Tapi الحمد لله ini juga salah. Yang benar, semua orang, punya وسوسة atau tidak, perlakuannya sama. Kalau dia ragu, tidak usah keluar sampai dia betul-betul yakin ada yang membatalkan الوضوء-nya. Ini kita katakan merupakan مذهب الجمهور (mazhab jumhur). Dan sebagian perkataan atau riwayat tentang hal ini dari الإمام مالك رحمه الله juga sama dengan الجمهور. Ada riwayat dari beliau, beliau mengatakan di antara perkataan الإمام مالك yang diriwayatkan oleh salah seorang muridnya yaitu عبد الله بن وهب (Abdullah bin Wahab) رحمه الله, beliau mengatakan, “Artinya ada yang mengatakan bahwa orang yang seperti itu harus wudu.” Ini ada beberapa riwayat dari الإمام مالك: orang yang apa namanya, mendapatkan itu (ragu-ragu), dia harus berوضوء semuanya, entah di الصلاة maupun di luar الصلاة. Ada pendapat yang mentafshil (merinci): kalau الصلاة, maka dia tidak perlu keluar, tapi kalau di luar الصلاة, maka dia perlu berوضوء. Ada pendapat yang mengatakan seperti tadi, “Ana lebih suka wudu karena itu lebih hati-hati.” Akan tetapi, والله أعلم, selama itu masih ragu-ragu saja, maka cara yang kita pegangi adalah tidak perlu (membatalkan), tepis saja. Apalagi seorang seringkali dia bertanya-tanya, “Oh, tadi aku sudah batal atau belum? ” Jangan juga ragu-ragu. Apalagi hafalannya lemah dia, masalahnya kalau ragu. Ya, kalau ragu karena sudah berوضوء atau belum, “Ana sudah wudu atau belum?” maka dia kembali kepada yang yakin. Yakinnya, “Saya keluar dari rumah saya sudah wudu.” Ya sudah, selama kita tidak ingat bahwa kita batal, maka dia tidak perlu meyakini bahwa dia batal. “Untuk hati-hati harus wudu,” tidak perlu seperti itu. Tapi kalau seandainya dia ingin berوضوء untuk memperbaharui الوضوء-nya, kemudian الصلاة ظهر (Zuhur), maka tidak apa-apa. Tapi dia tidak boleh sampai terjangkit dengan penyakit ragu-ragu yang seperti itu.

Dan memang, ketika orang akhirnya ingat setelah الصلاة, sunnahnya panjang, habis الصلاة ظهر panjang, sudah ada ceramahnya lagi, ada apa, acara macam-macam, sampai di kamar baru ingat, “Lho, tadi kan aku di tengah pelajaran keluar ke حمام (kamar mandi), tidak sempat wudu.” Baru ingat, berarti الصلاة ظهر-ku tidak pakai الوضوء. Memang harus mengulang karena memang dia betul-betul ingat الصلاة-nya tidak dalam kondisi bersuci. Tapi, والله أعلم, dalam pembahasan ini, kalau seandainya kita tidak ingat, maka dikembalikan kepada yang yakin. Ini yang seperti ditegaskan oleh الإمام النووي رحمه الله.

Hadis ke-27 & ke-28: Air Kencing Bayi (Riwayat أم قيس بنت محصن و عائشة رضي الله عنهما)

Pembahasan berikutnya, dua أحاديث sekaligus karena pembahasannya sama, الحديث ke-27 dan ke-28.

Hadis dari أم قيس بنت محصن (Ummu Qais binti Mihshan) رضي الله عنها. Ini disebutkan oleh para العلماء ahli sejarah, beliau adalah saudari dari عكاشة بن محصن (Ukasyah bin Mihshan) رضي الله عنه, yang minta didoakan oleh النبي صلى الله عليه وسلم agar dimasukkan ke dalam 70.000 orang yang masuk surga tanpa حساب (hisab) dan عذاب (azab). Sampai النبي صلى الله عليه وسلم mengatakan, “سبقك بها عكاشة” (Engkau telah didahului Ukasyah). Beliau (Ummu Qais) memiliki riwayat الحديث yang sedikit sekali, di antaranya الحديث yang berkaitan dengan ini. الحديث yang lain juga berkaitan dengan anaknya. Ini sekarang (hadisnya) berkaitan dengan anaknya. Di الحديث yang lain, dia juga meriwayatkan yang masih ada hubungannya dengan anaknya. Bahkan anaknya ini akhirnya meninggal waktu masih kecil. Dalam riwayat صحيح البخاري—bukan البخاري tapi (maksudnya dalam riwayat lain yang sahih, atau ada sedikit kerancuan dalam penyebutan sumber di sini oleh pembicara, namun konteksnya jelas)—”Aku sedih sekali sampai aku bilang kepada orang-orang yang memandikan, ‘Eh, jangan mandikan anakku dengan air dingin, nanti tambah mati anakku.'” Sampai akhirnya saudaranya, عكاشة, dengar ini, akhirnya sampaikan kepada النبي صلى الله عليه وسلم, “Ya رسول الله, saudariku mengatakan jangan kau mandikan anak-anakku dengan air dingin nanti tambah mati.” Akhirnya kata النبي صلى الله عليه وسلم, “ما لها؟ أطال الله عمرها” (Kenapa dia harus ngomong begitu? Semoga الله panjangkan umurnya). Kata perawi yang meriwayatkan الحديث ini, “فما رأيت امرأة أطول عمرا منها” (Aku tidak pernah melihat seorang wanita yang lebih panjang umurnya seperti panjang umurnya Ummu Qais). Tapi tidak disebut oleh الحافظ ابن حجر رحمه الله dalam kitab الإصابة (Al-Ishabah), beliau meninggal umur berapa dan tahun berapa, tidak disebutkan. Tapi intinya, ini صحابية (shahabiyah).

Beliau merupakan seorang صحابية yang juga meriwayatkan الحديث. (Dalam hadis ini) Dia datang membawa anak yang masih kecil, belum makan (makanan pokok). “Belum makan” ini bisa diartikan:

  1. Sama sekali dia belum makan (apapun selain ASI), karena dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa anaknya baru dilahirkan, langsung dibawa ke النبي صلى الله عليه وسلم. Dan ini kebiasaan para الصحابة. Para الصحابة apabila punya anak, maka mereka tidak ingin anaknya langsung makan sesuatu, minum sesuatu, sampai النبي صلى الله عليه وسلم pertama kali yang akan memasukkan kurma yang sudah dikunyah-kunyah atau digigit-gigit oleh النبي صلى الله عليه وسلم, namanya التحنيك (tahnik).
  2. Anak ini sengaja didatangkan kepada النبي صلى الله عليه وسلم untuk di-التحنيك oleh النبي صلى الله عليه وسلم. Dan para الصحابة, mereka terbiasa melakukan itu kepada النبي صلى الله عليه وسلم. Maka الحمد لله, kita ambil kurma kemudian kita kunyah-kunyah begini, setelah lunak sekali kita ambil, kita masukkan ke bagian atas langit-langit mulut anak kecil, sehingga dia akan mengemut air liur (Nabi ﷺ bersama kurma) dan pertama yang masuk adalah kurma. Para العلماء mengatakan ini manfaat sekali, bermanfaat sekali. (Ada yang) mengambil kesimpulan adanya anjuran untuk mendatangi orang shalih mencari berkahnya sehingga dia datang kepada orang shalih. Tetapi والله أعلم ini bukan pendapat السلف, karena tidak pernah ada riwayat satupun yang mereka memahami seperti itu. Buktinya tidak pernah ada yang datang kepada أبو بكر (Abu Bakar), عمر (Umar), عثمان (Utsman), bahkan datang ke علي بن أبي طالب (Ali bin Abi Thalib), عبد الله بن عباس (Abdullah bin Abbas) رضي الله عنهم, datang kepada mereka, “Tolong di-التحنيك anaknya.” Tidak ada masalah, tapi tidak diyakini bahwa itu memiliki (keberkahan khusus dari selain Nabi ﷺ).

Intinya, anak ini dibawa oleh أم قيس seperti itu. Dia sudah makan, maksudnya apa? Belum makan itu (artinya) dia belum makan makanan yang lain, tapi dia sudah pertama minum ASI karena itu menjadi kebutuhan pokok dia. Yang kedua, mungkin juga dengan التحنيك artinya dia datang dibawa ke النبي صلى الله عليه وسلم bukan yang pertama (setelah lahir). Karena ini (Ummu Qais) yang membawa. Ada (kisah lain), langsung tiba-tiba datang. Tidak mungkin kalau anaknya siapa namanya, أنس (Anas bin Malik رضي الله عنه). Jadi أم سليم (Ummu Sulaim رضي الله عنها) ini nikah dengan bapaknya أنس بن مالك, muncullah أنس. Setelah itu bapaknya tahu istrinya masuk الإسلام, marah dia, pergi ke الشام sampai mati di sana, mati كافر bapaknya أنس بن مالك. Kemudian (Ummu Sulaim) nikah lagi sama أبو طلحة (Abu Thalhah رضي الله عنه). Akhirnya muncullah anaknya namanya عبد الله (Abdullah bin Abi Thalhah). عبد الله ini pertama kali lahir, dilahirkan oleh أم سليم, langsung dia bilang kepada أنس, “أنس, ambil bawa langsung (ke) رسول الله صلى الله عليه وسلم, tidak usah nunggu besok.” Atau mungkin nunggu besok pagi kalau lahirnya memang malam waktu itu karena sudah dekat, akhirnya lahiran malam hari, besok paginya langsung dibawa menghadap النبي صلى الله عليه وسلم. Tetapi ini beda, أم قيس ini (datang sendiri) kemudian dalam الحديث ini dikatakan, “Aku membawa anakku.” Sehingga والله أعلم maksudnya belum makan makanan yang lain, tapi kalau ASI sudah.

3. Mungkin juga madu, karena kebiasaan mereka kalau sakit biasa dipakai madu atau obat lain dimasukkan ke dalam mulutnya atau yang semacamnya, pengobatan-pengobatan tradisional mereka. Kalau sakit anaknya, entah sakit apa, mereka pakai seperti itu, seperti gurah dan sebagainya.

Disebutkan juga maksudnya dia mungkin sudah makan yang lain juga (makna ketiga dari “belum makan makanan pokok”). Paham ya, ada tiga makna:

* Makna yang pertama: dia sama sekali belum makan apapun karena dia baru lahir.

* Makna yang kedua: dia bukan makan makanan lain seperti roti atau apa, tapi dia sudah minum susu, atau dia التحنيك sebelumnya, atau dia pakai madu kalau seandainya mau berobat.

* Makna yang ketiga: ini dia mungkin sudah makan seperti roti, gandum, dan sebagainya, tapi makanan itu belum jadi makanan pokok karena dia masih kecil sehingga dia masih tetap tergantung pada ASI. Tapi kalau makan yang lain sudah mulai masuk.

Intinya menunjukkan anak ini masih kecil seperti itu. Hanya memang beda-beda riwayatnya. “فَأَجْلَسَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حِجْرِهِ” (Maka Rasulullah ﷺ mendudukkannya di pangkuannya). Maka anak ini kencing di baju رسول الله صلى الله عليه وسلم. “فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ” (Lalu beliau meminta air, kemudian memercikkannya dan tidak mencucinya).

Kita lanjutkan di الحديث berikutnya yang terakhir, dari الحديث عائشة رضي الله عنها, dan ini sudah kita pernah bahas biografi beliau. “أُتِيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَبِيٍّ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ إِيَّاهُ” (Pernah dibawakan seorang anak kecil kepada Rasulullah ﷺ, maka anak kecil itu akhirnya kencing (di baju beliau). Kemudian Nabi ﷺ meminta agar diambilkan air, lalu beliau mengikutkan air itu pada (bekas kencing tersebut)).

Wali Muslim (dalam riwayat Muslim) dikatakan, “فَأَتْبَعَهُ بَوْلَهُ الْمَاءَ وَلَمْ يَغْسِلْهُ” (Maka air kencing itu diikuti dengan air, tapi tidak sampai dicuci, cuman dipercikkan saja begini, dan tidak sampai dicuci). Dalam riwayat عائشة ini, Alhamdulillah, sekalipun ada riwayat lain yang mengatakan bisa jadi الحسن (Al-Hasan) atau الحسين (Al-Husain) رضي الله عنهما, karena pada beberapa referensi dikatakan, “أُتِيَ بِالْحَسَنِ” (dibawakan Al-Hasan). Dan ini banyak sekali diriwayatkan bahwa الحسن atau الحسين sering dibawa untuk digendong النبي صلى الله عليه وسلم, dan beliau suka sekali kepada الحسن dan الحسين. Bahkan sampai pernah ketika الصلاة, sambil sujud, beliau tidak bangun-bangun karena ternyata, “إِنَّ ابْنِي هَذَا ارْتَحَلَنِي” (Sesungguhnya anakku ini (cucuku) telah menunggangiku). Dan النبي صلى الله عليه وسلم saking sayangnya kepada cucunya sampai beliau tidak mau selesai dari sujudnya biar anaknya tidak terganggu. Ini sering sekali, maka dikatakan “أُتِيَ بِالْحَسَنِ”. Bahkan dalam riwayat yang lain disebutkan dengan إسناد (sanad) yang حسن (hasan), الحافظ ابن حجر (menyebutkan) sanadnya: Rasulullah صلى الله عليه وسلم (membiarkan anak itu kencing), “دَعُوهُ حَتَّى يَقْضِيَ بَوْلَهُ” (Biarkan sampai selesai kencingnya). Baru setelah itu beliau panggil orang untuk mengambilkan air, baru disiram. Nah, ini menunjukkan bahwa tafsiran bisa jadi anak kecil itu maksudnya الحسن atau الحسين. Hanya kata الحافظ ابن حجر, riwayatnya banyak menunjukkan itu.

Tapi, “Ana (saya) lebih merajihkan yang lain,” bisa jadi yang lebih kuat adalah anaknya أم قيس بنت محصن. Kenapa? Karena di situ katakan, anak kecil dibawa untuk di-التحنيك oleh النبي صلى الله عليه وسلم. الحسن dan الحسين sudah besar, tidak perlu di-التحنيك lagi, dia bisa makan kurma sendiri, tidak perlu التحنيك lagi. Bahkan dalam riwayat ketika kencing itu disebutkan, “غُلامٌ يَرْتَضِعُ” (anak yang menyusu) atau “صَبِيٌّ يَطَأُ” (anak yang berjalan menggunakan tangan dan lututnya, berarti sudah merangkak). Nabi صلى الله عليه وسلم tidur, maka dia naik ke atas dadanya, meletakkan kemaluannya pas di pusar النبي صلى الله عليه وسلم, kencing di situ. Ini menunjukkan bahwa ini الحسن dan (usianya sudah) besar, bukan datang untuk di-التحنيك. Maka kata الحافظ ابن حجر, والله أعلم, tafsiran الحديث anak kecil ini maksudnya adalah anaknya أم قيس بنت محصن. Mencari tafsirnya tidak sembarang, beliau kumpulkan semua riwayat lalu beliau bandingkan dan beliau rajihkan.

Dalam riwayat ini kemudian disampaikan bahwa anak kecil itu, kalau kata-kata “أَجْلَسَهُ” (mendudukkan) atau memangku, ini untuk anak kecil yang sudah bisa merangkak seperti الحسن dan الحسين, maka maknanya jelas, maknanya dudukan saja, anak kecil bisa dipangku duduk biasa. Tapi kalau yang mau di-التحنيك, maka makna “أَجْلَسَهُ” adalah dipangku dengan dipeluk seperti ini, bukan dipangku duduk. Bahkan ibu-ibu biasanya takut sekali itu anak kecil baru lahir (diperlakukan sembarangan).

Intinya di الحديث ini dikatakan “فَأَجْلَسَهُ” (maka beliau mendudukkannya). Dan Ini kata الحافظ ابن حجر menunjukkan bagaimana kelembutan النبي صلى الله عليه وسلم, suka anak kecil. Beliau tidak mentang-mentang orang terpandang, orang penting, atau dia pejabat, ketika ada orang bawa anak kecil lalu tidak mau. Meskipun ini kadang-kadang memang kembali kepada kecongkakan atau ketawadhu’an, tapi terkadang juga kepada watak dan kebiasaan. Ada orang memang (tidak) suka sama anak kecil, tidak bisa sabar. “Eh anak kecil,” langsung disapa, diajak main, apa segala macam. Nah, itulah (Nabi ﷺ) sempurna, ya, daripada orang yang sama anak kecil kaku. Meskipun tidak bisa disalahkan karena itu kembali kepada kebiasaan orang. Ada orang kebiasaan begitu, kadang ada sungkan saja mau menggoda anak kecil, (takut) nangis, gimana, memang mukanya itu seram. Ya gimana ya, maksudnya itu kembali kepada kebiasaan orang. Ada orang lihat anak kecil, wah سبحان الله tidak sabar. النبي صلى الله عليه وسلم ketika membawa anak kecil, anak siapa saja digendong. Dan ini menjadi salah satu keistimewaan. Dan kita pernah mendengar النبي صلى الله عليه وسلم mencium الحسن dan الحسين, dilihat oleh الأقرع بن حابس (Al-Aqra’ bin Habis). الأقرع bin Habis dia lihat النبي صلى الله عليه وسلم mencium anak kecil, keheranan dia, “إن لي عشرة من الولد ما قبلت منهم أحدا” (Sesungguhnya aku punya sepuluh anak laki-laki, tidak pernah ada satupun yang kucium). Kata النبي صلى الله عليه وسلم, “أو أملك لك أن نزع الله من قلبك الرحمة؟” (Apakah aku bisa berbuat sesuatu untukmu jika Allah telah mencabut rahmat dari hatimu?). Jadi kasih sayang kepada anak, baik kepada anak sendiri (maupun) anak orang lain, itu merupakan keistimewaan النبي صلى الله عليه وسلم memiliki watak seperti itu.

Dalam الحديث ini ditunjukkan, dan ini menjadi inti pembahasan, bahwa ada perbedaan antara air kencing untuk anak yang belum makan (makanan pokok). Dan para العلماء mengatakan intinya adalah anak kecil yang belum makan makanan yang lain sebagai makanan pokok. Tapi kalau sudah makanan pokoknya macam-macam, dan anak kecil makan sambal, rendang, apa segala macam, tidak boleh lagi dia diperlakukan seperti anak kecil yang baru ASI saja. Otomatis air kencingnya berbeda.

Dan para العلماء mengatakan jangan sampai disalahpahami, (menganggap) air kencing anak kecil bayi tidak najis. Tidak, sama sekali tidak. Ini bahkan perkataan yang (salah kaprah). Alhamdulillah dari beberapa orang, dan beberapa orang ini menukil dari beberapa مذهب seperti الإمام الشافعي (Imam Syafi’i) dan الإمام أحمد (Imam Ahmad) mengatakan bahwa air kencing anak kecil tidak najis. Ini salah besar karena mereka tidak paham perkataan الأئمة (para imam). Akhirnya mereka nukil dari perkataan imam-imam itu katanya (air kencing anak kecil) tidak najis. Salah itu. Yang benar, air kencing anak kecil tetap najis, tapi dipermudah, diberikan keringanan untuk membersihkannya, seperti itu.

Yang pertama itu. Yang kedua, dibedakan. Tentu yang kita sebutkan tadi adalah anak kecil yang masih belum makan makanan yang lain, dia masih pakai ASI, orang bilang ASI eksklusif. Kemudian para العلماء mengatakan dibedakan antara anak kecil laki-laki dan perempuan. Dan ini menurut pendapat yang راجح (rajih – kuat) dalam مذهب الإمام أحمد dan juga merupakan pendapat yang راجح dalam مذهب الشافعي yang disebutkan. Menurut pendapat yang راجح dalam مذهب الشافعي, dibedakan antara anak laki-laki yang kecil yang belum makan (makanan pokok) tentunya, dengan anak perempuan yang kecil. Kalau anak laki-laki dan belum makan, artinya belum berpindah dari ketergantungan kepada ASI, maka air kencingnya tidak perlu dicuci, akan tetapi cukup di-نضح (dipircikkan air) saja. Beda disiram dan dicuci. Kalau orang (kena) najis pakaiannya, maka dia harus cuci (dengan air hingga hilang najisnya). Tetapi kalau dia kena air kencing anak kecil yang belum makan, maka dia bisa siramkan air agar menggelontor bagian air kencing, sudah selesai.

Dalam riwayat مسلم dikatakan “نَضَحَهُ” (membersihkan dengan percikan). Jadi ketika dikencingi atau kena air kencing anak kecil yang masih belum makan itu, bisa diciprat-cipratkan. Kata الحافظ ابن حجر, dalam riwayat dikatakan “ثُمَّ رَشَّهُ” (kemudian memercikkannya). Dan riwayat مسلم tidak melakukan yang lebih dari sekadar menyiram itu saja. Kata (Al-Hafizh), tidak bertentangan antara “نَضْح” (nadhh) dengan “صَبّ” (shabb – menyiram) dan juga dengan “رَشّ” (rasysy – memercik). Artinya membersihkan itu di awal, dia dipercikkan begini kemudian disiram seperti itu.

Nah, ini dibedakan antara air kencing laki-laki dengan air kencing perempuan anak yang masih belum makan. Artinya, kenapa dikatakan demikian? Dalam الحديث ditegaskan, kalau air kencing anak laki-laki yang belum makan makanan seperti yang kita sebutkan tadi, maka dia cukup di-رش (dipircik). Dan kita sebutkan riwayat ini dikatakan, untuk air kencing anak perempuan, sekalipun masih bayi, maka dia tetap dicuci, dan najisnya seperti najis air kencingnya orang dewasa. Kenapa dibedakan seperti itu? Disebut oleh para العلماء (beberapa hikmah):

  1. Karena air kencing laki-laki, anak laki-laki ini lebih (panas sifatnya), sehingga kemaluan laki-laki termasuk anak kecil ini حار (panas). Sehingga نتانة (bau busuk) air kencing itu bisa setidaknya diminimalisir dengan panasnya (alat kelamin) laki-laki, sehingga yang keluar itu ringan. Sementara air kencing perempuan tidak seperti itu. Bahkan dikatakan kemaluan perempuan itu رطبة (lembab), banyak kelembabannya, sehingga air kencing itu bukan dikalahkan oleh alat vitalnya itu, akan tetapi justru tetap seperti itu. Maka dikatakan air kencing anak perempuan itu أغْلَظ (lebih berat) dan lebih busuk. والله أعلم, tapi ini hanya hikmah saja. Intinya dalam الحديث النبي صلى الله عليه وسلم dibedakan seperti itu, sudah.
  2. Ada توجيه (penjelasan) para العلماء juga yang lain, mereka mengatakan karena anak kecil (laki-laki) lebih suka dibawa-bawa daripada anak perempuan. Orang datang ke masjid bawa anak laki-laki, entah anak laki-laki bisa jalan atau digendong. Beda dengan anak perempuan, rata-rata lebih suka tinggal di rumah atau orang tuanya mungkin jarang bawa. Dan tidak dipertimbangkan sebagian orang, (ada juga) anak-anak perempuan dibawa semuanya. Tapi kebiasaan orang secara mayoritas, mereka lebih suka membawa anak laki-laki. Maka para العلماء memandang seperti ini, dianggap beri keringanan ketika mereka (membawa anak laki-laki) mesti akan terjadi kencing di sana-sini.
  3. Kemudian juga dikatakan bahwa air kencing anak laki-laki ini (menyebar) kemana-mana. Kalau seandainya harus dicuci semuanya berat. Sementara air kencing anak perempuan tidak kemana-mana, di situ saja. Sehingga air kencingnya semakin terfokus, kemudian dicucikan masih bisa.

Ini intinya, dan ini merupakan مذهب mayoritas العلماء, dibedakan antara air kencing anak laki-laki dengan anak kecil perempuan. Dan ada الحديث-nya tadi itu. Ada Sebagian العلماء mengatakan tidak ada bedanya, dua-duanya cukup disiram saja. Tetapi itu menyelisihi dalil. Pendapat yang ketiga, mereka mengatakan, ini الحنفية (Hanafiyah), mereka katakan air kencing anak perempuan atau anak laki-laki semuanya sama, dicuci. Sama-sama najisnya, (maka) dicuci. Tapi kembali, ini menyelisihi ajaran النبي صلى الله عليه وسلم. Tapi yang perlu ditegaskan adalah, tidak berarti air kencingnya anak laki-laki tidak najis. Bukan itu, salah. Tetap najis, akan tetapi perlu dibersihkan, hanya cara membersihkannya lebih ringan. Ini yang dapat kita pelajari, semoga benar-benar bermanfaat. صلى الله على نبينا محمد.

Tanya Jawab

  • Pertanyaan: Sedikit pertanyaan, apakah boleh قياس (qiyas) dalam masalah ibadah?
    • Jawaban: Boleh قياس dalam masalah ibadah, boleh sekali. Seperti زكاة الفطر (zakat fitrah), itu زكاة الفطر pakai beras (di Indonesia, sebagai qiyas dari makanan pokok yang disebut dalam hadis).
  • Pertanyaan: Dan apakah (benar) dengan قياس melafazkan niat dalam الصلاة kepada تلبية (talbiyah) عمرة (umrah) atau حج (haji)?
    • Jawaban: Ini betul, kita sudah bahas di kelas ya. Tidak betul. Bahkan itu di antara kesalahan sebagian (ulama) الشافعية (Syafi’iyah), yang Sebagian العلماء مذهب الشافعي yang meng-قياس-kan itu, dan sudah dibantah oleh (ulama) مذهب الشافعية juga ya. Yang membantah adalah العلماء مذهب الشافعية sendiri yang mengatakan ini kesalahan dia dalam menyamakan antara تلبية dengan تكبيرة الإحرام (takbiratul ihram). تلبية ketika orang masuk ke dalam نسك (manasik) seperti “لبيك اللهم حجا” (Labbaik Allahumma hajjan), dia ucapkan itu. Kalau seandainya dia mau حج بدل (haji badal), maka dia katakan itu. Nah, Sebagian العلماء memandang bahwa دخول (masuk) ke نسك itu seperti دخول ke الصلاة. Maka kalau ada تلبية seperti ini, maka disamakan dengan تكبيرة الإحرام. Akhirnya ketika ini (talbiyah) dilafalkan, maka dalam الصلاة juga dilafalkan. Hanya saja قياس-nya salah, karena ini masuknya dalam تلبية mengatakan “لبيك اللهم…”. Kalau di تكبيرة الإحرام, masuknya orang dengan تكبير, cukup sudah selesai. Tapi mereka justru meng-قياس-kannya jadi beda di sini, jadi “نويت” atau “أصلي”, di sana “لبيك اللهم…”. Dan kalau Antum perhatikan, orang yang terbiasa niat seperti itu, mereka ketika حج tidak cukup dengan “لبيك اللهم عمرة” tapi dia akan mengatakan, “نويت العمرة وأحرمت بها لله تعالى” (Nawaitul ‘umrata wa ahramtu biha lillahi ta’ala) seperti itu. على كل حال (Ala kulli hal – bagaimanapun juga), ini tidak istihza’ (mengolok-olok) atau meremehkan, karena ini pendapat dan ijtihad Sebagian العلماء yang mengatakan perlu melafazkan niat dan itu lebih mantap kata mereka. Dan kita tidak mencela itu karena itu pendapat dalam مذهب فقه (mazhab fikih). Akan tetapi, pendapat yang kuat tidak seperti itu, karena النبي صلى الله عليه وسلم tidak menggunakan (lafaz niat).
  • Pertanyaan: Hadis yang dimaksud (tentang air kencing anak kecil yang belum makan makanan pokok) sampai umur berapa?
    • Jawaban: Para العلماء ahli bahasa mengatakan الصبي (anak kecil) itu sebelum dia بالغ (baligh). Sejak dia dilahirkan sampai sebelum dia بالغ itu namanya صبي. Akan tetapi yang penting bukan صبي-nya, tetapi apakah dia sudah makan (makanan pokok) atau belum. Seperti itu. Anak kecil usia 3 tahun dia bisa dikatakan صبي, tapi kalau dia kencing maka najis (dan cara membersihkannya seperti najis biasa jika sudah makan makanan pokok). Sudah 3 tahun sudah makan rendang itu.
  • Pertanyaan: Apa yang harus kita lakukan ketika suatu masjid melakukan dua kali azan Jumat? Apa yang harus kita lakukan setelah azan itu?
    • Jawaban: Tidak apa-apa ya, tidak apa-apa. Antum diam saja, jangan ikut-ikutan (melakukan salat sunnah khusus setelah azan pertama jika sudah di dalam masjid). Jadi azan dua kali ini baru dilakukan oleh عثمان رضي الله عنه ketika kaum المسلمين sudah banyak, kemudian ingin mengingatkan, maka azan pertama dilakukan di tempat namanya الزوراء (Az-Zaura’) atau apa seperti itu. Ada sebuah tempat itu dipakai untuk azan pertama agar kaum المسلمين ingat ini hari Jumat. “Oh, tidak mungkin orang tidak ingat hari Jumat.” Kata siapa tidak mungkin? Kita saja diingatkan dengan mengaji ya, suara orang pasang-pasang mengaji, itupun kadang orang tidak ingat. Karena di tempat-tempat yang lain biasanya juga orang pasang قراءة (qira’ah) untuk الصلاة ظهر, tahu-tahu, “Lho kok ada azan ini, azan apa?”. Kalau kita di المدينة, dan di المدينة kadang-kadang seperti itu, lupa, lupa, blank, sudah tidak mengerti kalau itu hari (Jumat) karena kita sudah misalkan tidak masuk kelas. Tidak mengerti itu hari apa, tahu-tahu kok ada yang azan, ini azan apa. Ada cerita teman, سبحان الله, rumahnya sebelah dengan masjid, dia tidak mengerti sama sekali, lupa luar biasa lupa sekali, tahu-tahu setelah azan hari Jumat (baru sadar). Artinya, azan dua kali ini dilakukan di zaman عثمان رضي الله عنه. Apa yang dilakukan? Sudah, diam saja karena Antum sudah dalam masjid, tidak mungkin Antum ulangi تحية المسجد (tahiyyatul masjid)-nya. Dan tidak ada الصلاة سنة (shalat sunnah) sebelum Jumat kecuali الصلاة untuk menunggu إمام (imam), الصلاة menunggu إمام dilakukan bisa terus-menerus sampai betul-betul إمام keluar.
  • Pertanyaan: (Apakah sama antara) menyiram dengan mencuci?
    • Jawaban: Untuk kita sampaikan tadi itu, menyiram (النضح atau الرش) itu artinya menggelontorkan atau memercikkan air (untuk kasus air kencing bayi laki-laki yang belum makan makanan pokok). Kalau mencuci (الغسل), sudah dicuci seperti (mencuci najis pada umumnya).
  • Pertanyaan: Apakah boleh ketika sudah mandi besar lalu الصلاة tanpa (wudu lagi)?
    • Jawaban: Boleh, kalau seandainya dia tidak sentuh kemaluannya lagi atau tidak batal lagi. Karena para العلماء mengatakan orang yang ingin keluar bebas dari حدث صغير (hadas kecil) dia harus berوضوء, dan الوضوء itu artinya urut (tertib anggota wudunya). Tidak bisa digelontor sekali (mandi besar) sudah mewakili الوضوء seperti itu (tanpa niat dan tertib wudu di dalamnya). Maka dia perlu tertib. Tapi سنة (sunnah) dalam mandi جنابة (janabah), kita sudah sampaikan pernah di awal-awal pembahasan ini, memang ada الوضوء-nya. Maka dia berوضوء dulu, setelah berوضوء maka dia cuci kepalanya, setelah kepalanya dicuci baru dia siram dari bagian kanannya kemudian bagian kiri dari anggota badannya. Kalau setelah dia selesai dari itu tidak menyentuh kemaluan lagi dan tidak batal karena kentut atau buang air lagi, maka dia sudah boleh untuk langsung الصلاة, tidak ada masalah. Tapi kalau seandainya ketika mandi dia pakai sabun, dia kemudian batal lagi (misalnya) sentuh kemaluan, maka dia batal الوضوء-nya, maka dia perlu berوضوء kembali.
  • Pertanyaan: Apa kita harus mengulangi الوضوء dari awal apabila kita kentut ketika sedang berوضوء?
    • Jawaban: Ya, iya jelas ya. Itu karena orang batal, maka dia hilangkan حدث-nya (dengan berwudu dari awal).
  • Pertanyaan: Cara sembuh dari وسوسة?
    • Jawaban: Ini tadi kita sudah sebutkan bahwa cara menghilangkan penyakit وسوسة, dia ingat-ingat yang yakin. Contoh misalkan, “Anak kayaknya belum wudu.” Antum yakinkan dulu, “Karena sudah wudu, maka ana wudu.” Setelah itu sudah, yakinkan bahwa, “Aku sudah wudu.” Hilang sudah, apa, hilangkan perasaan وسوسة tadi itu. Kita sudah bahas di awal pengajian, harus dilawan, harus dilawan.
  • Pertanyaan: Jika dalam pertengahan الصلاة, إمام baru ingat kalau dia belum berوضوء dan setelah itu إمام langsung keluar dari jamaah, apakah الصلاة (makmum) tetap sah?
    • Jawaban: إن شاء الله tetap sah, والله أعلم. Jadi yang batal الصلاة-nya إمام saja. Kalau إمام batal, maka مأموم (makmum) tidak ikut batal, kecuali kalau mereka tahu. Kalau mereka tahu إمام-nya tidak punya الوضوء dan mereka tetap saja bermakmum, ini والله أعلم bisa jadi الصلاة mereka terpengaruh karena mereka (seharusnya) ingatkan إمام-nya. Atau إمام-nya kentut tapi dia tidak dengar, jadi إمام-nya itu sendiri tidak dengar. Mungkin apa, tidak mungkin kalau dia sakit, artinya dia pendengarannya misalkan orang tua sekali, orang tua sekali sehingga dia tidak dengar. Kalau ada gempa mungkin tidak merasa. Jadi dia buang air seperti itu tapi tetap tidak merasa, maka dia harus diingatkan. Tidak boleh (ber)makmum kepada orang yang punya حدث seperti itu.

Mudah-mudahan bermanfaat. صلى الله على نبينا محمد.