بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.
Menyambut Ramadan dengan Doa dan Keikhlasan
Untuk menyambut bulan suci Ramadan, yang pertama beliau ingin tegaskan bahwasanya Ramadan merupakan تَوْفِيق (taufiq) dari Allah. Seseorang perlu menyambut Ramadan dengan berdoa. Kita yakin bahwasanya kesuksesan ibadah kita di bulan Ramadan bukan tergantung pada aktivitas amal yang dikerjakan. Mayoritas orang ini bukan event dan momen untuk menunjukkan siapa yang paling kuat dan paling banyak pengikutnya. Akan tetapi ini merupakan sebuah kesempatan yang tergantung pada hidayah Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ. Maka ada orang yang مُوَفَّق (muwaffaq) ada orang yang akan terhina bahkan celaka ketika dia tidak bisa diampuni oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ. Maka orang yang menyambut bulan Ramadan dia perlu berdoa minta kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ dengan tiga hal minimal:
- Minta agar disampaikan untuk bertemu bulan suci Ramadan. Ada beberapa doa sekalipun dinukil secara Nabi صلى الله عليه وسلم dengan sanad yang lemah. Ketika kita sering mendengar orang berdoa, “اللَّهُمَّ سَلِّمْنِي لِرَمَضَانَ وَسَلِّمْ لِي رَمَضَانَ وَتَسَلَّمْهُ مِنِّي مُتَقَبَّلًا” (Ya Allah sampaikan aku untuk bertemu Ramadan, dan sampaikan Ramadan kepadaku, dan terimalah dariku dengan penerimaan yang baik). Hadis ini lemah, akan tetapi pernah dipanjatkan oleh beberapa orang tabiin dan tidak mengapa seseorang menggunakan bahasanya. Apa? Akan tetapi tidak diyakini bahwa doa itu merupakan doa yang مَأْثُور (ma’tsur). Ya, minta dengan doa apa saja agar dia sampai bertemu dengan bulan suci Ramadan.
- Yang kedua, Dia meminta agar dia bisa مُوَافَقَة (muwafaqah) dalam beribadah dalam bulan suci Ramadan. Dia bisa menunaikan semua dalam kondisi maksimal dan sesuai dengan harapan Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyampaikan kepada Mu’adz رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ secara umum pada setiap ibadah, “Jangan sampai engkau lupa setiap habis salat berdoa ya Allah berilah aku pertolongan, kekuatan untuk bersyukur kepada-Mu, mengingat Engkau dan memperbaiki ibadahku sebaik mungkin.” Apalagi ketika menyambut kesempatan sakral dan jarang seperti ini.
- Kemudian yang ketiga kita minta kepada Allah agar ibadah yang kita laksanakan diterima oleh Allah. Dan سُبْحَانَ اللَّهِ kekhawatiran seseorang dengan tidak diterimanya amal menunjukkan perhatian dia kepada amal itu. Kalau orang tidak tahu bagaimana butuhnya dia kepada amal maka dia tidak akan peduli yang penting aku kerjakan diterima atau tidak tidak penting. Padahal para ulama justru semakin besar ilmu mereka dekat mereka kepada Allah mereka semakin khawatir amal ibadah mereka tidak diterima oleh Allah. Kita pernah menyampaikan Abdullah bin Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا mengatakan, “Satu sujud saja Allah terima atau satu sedekah satu dirham saja maka tidak ada yang lebih aku sukai dari kematian.” “إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ” (Allah hanya menerima dari orang yang bertakwa). Dan تَقَبُّل kata para ulama ketika bertambah مَبْنَى (mabna), ketika Allah عَزَّ وَجَلَّ menggunakan lafaz تَقَبُّل bukan قَبُول (qabul) menunjukkan bahwa penekanan makna lebih kuat penekanannya. Allah betul-betul menerima tapi hanya dari orang yang bertakwa. Dan ternyata orang takwa, orang-orang bertakwa yang takut amal mereka ditolak oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ sementara kita mengukur kapasitas dan kekhawatiran kita seberapa besar kekhawatiran kita dengan ibadah yang tidak diterima oleh Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ sebatas itu pula sebenarnya tingkat keimanan kita.
Maka kita pantas berdoa kepada Allah sebelum, ketika, dan sesudah seseorang beribadah dalam bulan suci. Ini yang kedua dia yakin bahwasanya ibadah ini hanya untuk maslahat dan kebutuhan kita. Seandainya kita tidak beribadah sama sekali, menyepelekan bahkan tidak menghiraukan keistimewaan bulan Ramadan. Bulan Ramadan akan lewat dan Allah tidak dirugikan dengan kebodohan kita. Maka فَمَنْ مَنَّ بِالْهُدَى فَقَدْ نَفَعَ نَفْسَهُ (paman nih nama siapa yang berusaha menempuh jalan hidayah). Kesempatan itu, manfaat itu dirasakan sendiri. Dan sebaliknya orang yang justru ingin menyesatkan diri maka kerugiannya akan dia rasakan sendiri. “قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا” (Telah beruntung orang yang berusaha menyucikan jiwanya dan rugi sekali orang yang melumuri jiwanya dengan kekotoran dan kemaksiatan).
Kemudian yang ketiga seseorang perlu berniat. Seseorang perlu berniat. Dan beliau mengingatkan niat seseorang ketika menyambut bulan suci Ramadan bisa dilakukan dengan niat. “Pokoknya saya ingin semua kebaikan akan saya kerjakan.” Dan ini merupakan niat مُجْمَلَة (mujmalat) ketaatan kepada Allah. Dan kita tahu bahwa niat ketika akhirnya kita bisa kerjakan kita dapat pahala banyak. Kalau tidak bisa dikerjakan minimal kita dapat pahala niat. Maka niat itu penting sekali. Kemudian yang kedua, niat dengan beberapa ibadah. Dan kita tahu banyak macamnya kebaikan itu. Orang yang bisa memanfaatkan kesempatan dan kemampuan ada peluang dikerjakan dua-duanya اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ. Akan tetapi kita punya yakni apa tekad punya strategi. “Aku bulan Ramadan ini akan menghatamkan Al-Qur’an minimal satu kali, dua kali, tiga kali. Kemudian aku berusaha untuk salat malam dengan khusyuk. Kalau bisa aku akan mencari masjid yang jamaahnya banyak sesuai sunah dan bacaannya bisa berganti-ganti.” Ya ini niat yang kita bisa rencanakan dan kita dekatkan. Semoga Allah عَزَّ وَجَلَّ memberikan pahala dari setiap niat yang kita kerjakan itu. Sedekah kita tidak ingin lewat satu hari kecuali ada tambahan sedekah yang kita kerjakan. Sekalipun tidak banyak tetapi para ulama menyebutkan setiap amal ketika diniatkan maka tambah dia amalan pahalanya. Niat sedekah kemudian dimasukkan sekalipun sedikit karena Allah عَزَّ وَجَلَّ akan membalas seseorang dengan niat yang pertama. Yang kedua dengan amal dia. Bagaimana kapasitasnya? Dan sedekah itu bisa semakin bermanfaat pada saat bertemu dengan kondisi-kondisi yang lebih mulia seperti bulannya, diberikan kepada siapa, bagaimana cara dia mengeluarkan itu semua akan menjadi pertimbangan ya. Kebaikan itu bisa dilipatgandakan 10 kali lipat, 700 bahkan lebih dari itu tergantung bagaimana dia beramal.
Pentingnya Ilmu dan Niat dalam Ibadah
Kemudian poin berikutnya belajar semakin banyak muatan modal kita untuk menyambut Ramadan dengan izin Allah kita akan semakin siap untuk beribadah. Berpacu tidak apa-apa. Orang mengatakan, “Kamu ini ibadahnya seperti pedagang seperti orang-orang Sufi mereka mencela mencela orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan hitung-hitungan.” Sampai ada pertanyaan ini dikatakan, “Apakah benar orang yang beribadah karena mencari surga berarti dia tidak ikhlas?” Karena Ramadan adalah ibadah yang identik dengan keikhlasan. “مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا” (berharap ridho Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ). Kalau dia berharap surganya bagaimana apakah dia ikhlas atau tidak? Sebagian orang mengatakan ini adalah ibadahnya orang yang gampang hitung-hitungan tidak mau beribadah kecuali sudah jelas untungnya. Kita katakan ini adalah buah dan hasil dari orang beribadah hanya karena perasaan saja. Hanya cinta saja tanpa ilmu dan dalil. Allah عَزَّ وَجَلَّ memerintahkan kita untuk berburu surga. Kenapa salah kita ketika kita memang ingin menggapai surga itu? Allah katakan untuk berburu ampunan Allah dan surganya.
Karena masalah dalam hadis terutama bulan Ramadan dalam hadis dikatakan ada pintu khusus untuk orang-orang berpuasa. Ketika ditanya, “Mana orang-orang berpuasa?” “Silakan masuk.” Ketika mereka masuk tidak tuh ini menunjukkan bahwa puasa ini untuk menggapai itu. Tidak ada masalah seseorang berdagang dengan Allah عَزَّ وَجَلَّ. Allah katakan dalam Al-Qur’an, “إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ” (membeli orang-orang beriman Allah beli mereka jiwa mereka harta mereka untuk diberikan sebagai pahala mereka الْجَنَّة surga). Tidak ada masalah. Artinya kita di bulan suci Ramadan ini semakin banyak persiapan kita akan semakin siap untuk menghadapi dan berpacu dalam mencari أَفْضَلِيَّة bulan suci Ramadan.
Mencari Malam Lailatul Qadar
Tujuh hadis إِنْ شَاءَ اللَّهُ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ hari ini kita bisa selesaikan. Hadis yang tiga pertama berkaitan dengan Lailatul Qadar. Dari para sahabat mereka أُرِيَ (uriya) diperlihatkan, diperlihatkan. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ mereka diperlihatkan dalam tidur mereka eh lailatul qadar itu sekian dan sekian. Mereka melihat di mimpi mereka tidak hanya satu dua orang tapi banyak. Maka Hafiz Ibnu Hajar akhirnya Rasul صلى الله عليه وسلم kemudian mengatakan bahwa mimpi kalian ini kok bisa sepakat. “Kok bisa sepakat terjadinya pada 7 hari terakhir di bulan Ramadan?” Maka barang siapa yang ingin betul-betul mencari dan mendapatkan lailatul qadar hendaklah dia cari di tujuh hari terakhir. Di sini pelajaran pentingnya boleh seseorang menggunakan mimpi untuk landasan selama tidak ada benturan dengan syariat. Selama tidak ada benturan dengan syariat. وَاللَّهُ أَعْلَمُ. Ini merupakan kesimpulan dari syariat tidak boleh.
Contohnya ketika seseorang mengatakan, “Kapan hari pertama bulan Ramadan? Malam Kamis apa malam Rabu?” Jelas malam satu Ramadan ya kan. Malam Sabtu إِنْ شَاءَ اللَّهُ Ramadan. Tapi sekarang malam Kamis apa malam Rabu Ustaz? “Saya lihat mimpi tadi malam kalau Ramadan malam Jumat.” Enggak usah mimpi malam Jumat. إِنْ شَاءَ اللَّهُ malam Ramadan. Saya maksudnya ketika mimpi itu dijadikan landasan beramal kalau bertentangan dengan syariat tidak boleh. Kita sampaikan pada hadis pertama bulan ini tentang masalah. Beliau mengatakan tidak boleh seseorang berpuasa dua hari, satu hari sebelum Ramadan karena dia hati-hati. “Kenapa kok tidak boleh seseorang berpuasa di hati sebelum Ramadan?” “Jangan-jangan tanggal 30 Sya’ban itu sudah masuk Ramadan. Hati-hatilah aku puasa.” Enggak boleh. Kenapa? Melanggar syariat. Di dalam syariat sudah ada. Maka tidak boleh kita meremehkan شَرْعُ الرُّؤْيَةِ (syar’ur ru’yah) melihat Hilal itu sampai kita puasa. Hati-hati. “Kalau Anda hati-hati berarti Apa manfaatnya?” Begitu. Apalagi orang meninggalkan رُؤْيَةُ الْهِلاَلِ karena mimpi. Tapi dalam hadis ini justru ditunjukkan betapa para sahabat kepikiran banget dengan Lailatul Qadar. Mereka tahu lailatul qadar itu harus diburu sehingga kebawa mimpi. Bukan satu dan dua orang. Maka اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ-nya para sahabat ketika mereka saking kepikirannya kebawa mimpi. Enggak cuma satu orang dua orang. Nah sehingga mereka sampai kebawa mimpi. Dan kita tahu mimpi yang baik dari Allah, mimpi yang jelek dari setan. Dan yang ketiga bunga mimpi. Kalaupun ini merupakan bunga mimpi karena kepikiran maka ini merupakan keistimewaan mereka para sahabat.
Kemudian di dalam hadis ini ditunjukkan betapa besarnya keistimewaan lailatul qadar sampai Nabi صلى الله عليه وسلم menyampaikan kepada mereka yang mau cari, cari di tujuh hari terakhir. Dan para sahabat sampai kepikiran sampai kebawa mimpi. Dan ternyata bukan hanya itu. Orang yang tidak dapat Lailatul Qadar maka Nabi صلى الله عليه وسلم dalam riwayat Tirmidzi mengatakan dia akan terhalang dari berbagai kebaikan yang banyak. Kata Nabi صلى الله عليه وسلم yang terhalang dari kebaikan lailatul qadar dia terhalang dari berbagai kebaikan. Maka memang rugi orang yang tidak dapat lailatul qadar. Maka akan kita pelajari bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم sampai membangunkan keluarganya untuk berburu lailatul qadar tersebut. Kemudian di dalam hadis ini sampai Nabi صلى الله عليه وسلم berusaha memberikan pesan kepada para sahabatnya, “Jangan ketinggalan.” Dalam riwayat Muslim dikatakan, “Carilah lailatul qadar pada 10 hari terakhir. Usahakan jangan sampai lemah dalam menyambut 7 hari terakhir.” Artinya Nabi صلى الله عليه وسلم sampai pesan seperti itu, “Cari-cari cari tujuh hari terakhir ini untuk mendapatkan lailatul qadar.” Dalam riwayat Muslim, “Maka usahakan jangan sampai lengah pada 7 hari terakhir ini.” Ini menunjukkan memang untuk berburu itu butuh persiapan sekalipun persiapan fisik. Kita pernah mendengar Kalau tidak salah Abdullah bin Mas’ud رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ Beliau mengatakan, “إِنِّي لَأَحْتَسِبُ نَوْمَتِي كَمَا أَحْتَسِبُ قَوْمَتِي” (aku mencari pahala dari Allah pada saat aku tidur sebagaimana Aku mencari pahala dari Allah pada saat aku bangun malam). Karena kalau kita tidak siap-siap siang hari kita tidak tidur capek sekali tidak bisa dipungkiri malam hari capek sekali kita enggak bisa untuk menikmati salat malam, salat tahajud. Bahkan kita berharap mudah-mudahan salatnya enggak kepanjangan atau mudah-mudahan salat tarawihnya ditunda. Enggak bisa begitu. Maka kalau tidak siap akan berefek pada kekurangan maksimalan kita dalam menyambut itu. Maka perlu kita persiapkan.
Waktu dan Tanda Lailatul Qadar
Kemudian di dalam hadis kedua dari Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ” (Carilah Lailatul Qadar pada setiap bilangan ganjil di 10 hari terakhir). Dan ini merupakan kesepakatan para ulama. Mereka mengatakan bahwa kesempatan وِتْر itu adalah waktu yang paling diharapkan. Menyebutkan ada sekitar 46 قَوْل para ulama yang membahas tentang lailatul qadar apakah akan terjadi, terjadinya kapan, terulang atau tidak, atau bahkan hilang. Beliau sebutkan dengan masing-masing riwayatnya. Beliau teliti dengan hukumnya dan sebagainya. Lalu beliau katakan sebagian dari perkataan ini bisa digabungkan. Hanya ada perbedaan sedikit sampai beliau sebutkan sekitar 46 pendapat. Syekh Abdullah meringkas dari 46 itu beliau katakan bisa dikategorikan menjadi empat pendapat:
- Pendapat pertama yang mengatakan bahwa pendapat ini pantas untuk ditolak saja, enggak usah dianggap. Kenapa? Karena pendapat ini jauh dari dalil yang kita pelajari. Lailatul Qadar bisa dikerjakan dan dikejar sementara pendapat ini mengatakan lailatul qadar hanya pernah terjadi di zaman Nabi صلى الله عليه وسلم kemudian tidak akan terjadi lagi. Pendapat yang kita tolak.
- Pendapat kedua merupakan pendapat yang lemah. Ada dalilnya tapi lemah. Beliau mengatakan bahwa ada sebagian ulama menyatakan lailatul qadar bisa terjadi sekarang tapi kapan? Di luar Ramadan. Malam Nisfu Sya’ban dengan berbagai dalilnya. Akan tetapi pendapat itu lemah sekali, pendapat itu lemah sekali. Al-Qur’an diturunkan kapan? Ramadan. “إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ” (Kami turunkan Al-Qur’an pada malam lailatul qadar). Kemudian dalam Al-Qur’an surat Ad-Dukhan Allah katakan, “إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ” (kami turunkan Al-Qur’an pada malam yang berberkah). Maksudnya itu lailatul qadar. Lailatul Qadar kok di luar bulan Ramadan gimana? Sehingga pendapat itu lemah.
- Pendapat ketiga pendapat kuat tapi مَرْجُوح (marjuh) yaitu pendapat yang mengatakan bahwa lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadan tapi di bagian awal. Dan kita akan sampaikan pada hadis yang ke-3 Abu Sa’id bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم sampai iktikaf 10 hari kedua dari bulan Ramadan. Ternyata lailatul qadar belum datang akhirnya lanjut pada 10 hari terakhir.
- Bahkan dalam beberapa riwayat yang disebutkan kuat oleh Ibnu Hajar Rasul صلى الله عليه وسلم ketika dari 10 hari pertama bulan Ramadan dan di setiap kali itu Jibril datang kemudian mengatakan yang kamu cari ada di depanmu. Tambah lagi dua kali Jibril datang mengatakan yang kamu cari di depanmu sampai akhirnya mengulangi sikap 10 hari berikutnya ngulangnya 10 lagi 10 lagi ya. Maka pendapat yang terakhir adalah pendapat yang رَاجِح bahwasanya lailatul qadar ada dan berpindah-pindah di setiap tahunnya dan di 10 hari terakhir yang paling diharapkan akan terjadi pada malam-malam ganjil yang lebih dikuatkan lagi kemungkinan besarnya terjadi pada 7 hari terakhir yang lebih diharapkan lagi adalah malam 27. Semakin lama semakin mengerucut malam 27 sampai sebagian sahabat sumpah bersumpah bahwa lailatul qadar malam 27. Artinya ini menunjukkan bahwa lailatul qadar akan terus berulang, akan terus berulang. Baik dalam hadis ini disebutkan.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bahwa bilangan ganjil di setiap 10 hari terakhir. Apakah berarti selain malam ganjil seseorang tidak perlu bersungguh-sungguh? Hajar menyebutkan bahwa hikmah Kenapa lailatul qadar tidak ditampakkan agar semua kaum muslimin selalu bersungguh-sungguh untuk menyambut, mencari, beribadah di bulan Ramadan terutama di bagian akhir. Kalau sudah ketahuan, “Ah lailatul qadar sudah terjadi,” maka orang malas untuk beribadah kembali. Memang ada عَلَامَات (amarot) ada tanda-tanda kata Hafiz mengajar akan tetapi tanda-tanda itu kebanyakannya terjadi setelah lailatul qadar itu. Ada di antara riwayat yang merupakan tanda bahwa lailatul qadar terjadi adalah yang disebutkan dalam صحيح مسلم. Di antaranya adalah matahari akan apa namanya akan terbit di siang harinya tidak ada sinarnya, tidak ada cahaya menyilaukannya. Tapi itu sudah terjadi lailatul qadarnya. Baik. Apakah orang yang melihat itu berarti dia pastikan, “Oh berarti tadi malam Lailatul Qadar sudah enggak usah ibadah?” Jawabannya tidak. Karena itu tidak bisa dijadikan sebuah kepastian. Dan para ulama mengatakan Apakah lailatul qadar ini akan didapatkan semua orang atau tidak? اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ ketika membahas tentang lailatul qadar intinya sebagian ulama mengatakan lailatul qadar akan didapatkan oleh orang yang tahu bahwa malam itu kemungkinan besar lailatul qadar. Setelah itu dia menggiatkan untuk ibadahnya. Ini merupakan kesempatan yang paling besar seseorang beribadah ketika dia kayaknya malam ini. Mengatakan kalau seandainya aku dapatkan satu malam kemungkinan itu lailatul qadar apa yang aku ucapkan. Karena kemungkinan untuk orang-orang yang bertakwa mereka bisa mensinyalir kayaknya tanda-tandanya dekat sekali sekarang.
Akan tetapi اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ dari seorang ulama. Beliau mengatakan bahwa sebagian orang dia pada malam-malam hari itu menyibukkan diri dengan ibadah tetapi dia tidak bisa membedakan tidak bisa mengenali Apakah malam itu terjadi lailatul qadar atau tidak karena dia tidak melihat sesuatu yang aneh sama sekali. Tidak melihat خَوَارِقُ (khawariq) kata beliau, enggak ada خَوَارِقُ sama sekali yang dia lihat sesuatu yang normal wajar-wajar saja. Tapi dia ibadah. Sementara sebagian orang melihat ada yang aneh, ada yang luar biasa pada saat itu tapi dia tidak ibadah. Maka Hafiz Ibnu Hajar, “الْعِبْرَةُ بِالْعِبَادَةِ” (yang paling penting dijadikan patokan adalah ibadahnya). Tidak usah ribut sekarang bagaimana ya. Ada orang sebagian mengatakan bahwa tanda lailatul qadar malam hari itu semua makhluk sujud kepada Allah عَزَّ وَجَلَّ nanti pagi harinya mereka bangun lagi kayak pohon-pohon bangun lagi apa segala macam. Sebutkan itu. Tapi وَاللَّهُ أَعْلَمُ hajar tidak menyebutkan Apakah semua tanda-tanda itu صحيح atau tidak. Sebagian disebutkan dalam صحيح مسلم kuat berarti akan tetapi sebagian yang lain disebutkan dari Fawaid ini.
Dari riwayat ini, dari riwayat ini dan macam-macam memang ada yang mengatakan aman sekali. Kalau aman sekali memang ada dalam Al-Qur’an. Akan tetapi intinya seseorang tidak bakal bisa memastikan Apakah lailatul qadar itu terjadi kapan. Akan tetapi kita yakini bahwa lailatul qadar itu pasti akan datang. Dan terkadang seseorang dapat malam itu kemudian tahun berikutnya dapat lagi, kemudian dapat lagi. Sebagaimana ada orang yang tidak pernah dapat, ada yang tidak pernah dapat. Tetapi semua tidak bisa memastikan. Maka kata Hafiz Ibnu Hajar dalam akhir syarahnya. Beliau mengatakan sebagian orang dia sebutkan namanya Al-Maghribi siapa begitu di zaman Beliau mengatakan bahwa lailatul qadar aku dapat setiap tahun dan dia pasti terjadi malam Ahad. Sebagian orang lagi mengatakan aku tahu lailatul qadar pasti terjadi malam Jumat. Ini tidak pernah ada dalil sama sekali. Dan Hajar jadi lailatul qadar tidak bisa dipastikan kapan terjadinya. Maka para ulama juga menyebutkan tidak boleh seseorang melupakan malam-malam genap karena yang ganjil sudah dia semangati maka yang yang genap-genap mereka tidak perhatikan. Karena dalam beberapa riwayat Rasulullah صلى الله عليه وسلم menggunakan redaksi sisa, “Jangan kalian lengah pada 7 hari yang tersisa dari bulan Ramadan.” Berarti ngitungnya dari belakang. Kalau dihitung satu hari tersisa, dua hari tersisa, 3 hari tersisa sampai 10 hari tersisa. Kalau Ramadannya 30 hari maka hitungannya tidak akan sama antara وِتْر dihitung dari depan dan dari belakang. 10 hari terakhir itu pun kalau 9 cocok dalam bahasa Arab 10 hari terakhir 9 itu bisa digenapkan menjadi 10. Dalam bahasa Arab tidak ada masalah. وِتْر–وِتْر-nya dihitung dari mana? Kalau dari depan ada 2, 1, 2, 3, 25, 27, 29. Kalau dihitung dari belakang satu tersisa 3 terakhir, kemudian 5 terakhir, 7 terakhir, 9 terakhir maka hitungannya kalau Ramadan 30 hari akan berbeda. Intinya seseorang tetap diperintahkan untuk mencari lailatul qadar pada setiap hari pada 10 hari terakhir.
Hadis Ketiga: Itikaf untuk Mencari Lailatul Qadar
Baik, hadis yang ketiga dari Abu Sa’id Al-Khudri رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ” (itikaf 10 hari pertengahan dari bulan Ramadan). Nah dalam beberapa riwayat disebutkan oleh Al-Hafiz Muhajir رَحِمَهُ اللَّهُ ini disebutkan dalam riwayat Muslim, Rasulullah صلى الله عليه وسلم kemudian Rasulullah baru iktikaf 10 hari terakhir. Dan setiap itu إِنَّ جِبْرِيلَ atau Jibril sampai dua kali turun kepada Nabi صلى الله عليه وسلم mengatakan yang kamu cari itu masih ada di depanmu. “Ayo balik lagi.” Maka dalam riwayat ini dikatakan itu beliau di 10 hari pertengahan. Kemudian sampai di awal 10 hari terakhir di sini disebutkan malam 21. Yang pagi harinya Rasulullah صلى الله عليه وسلم keluar lalu berkhotbah. Beliau mengatakan, “Barang siapa yang ingin iktikaf bersamaku ayo balik lagi kita iktikaf di 10 hari terakhir.” Dalam riwayat ini disebutkan bahwa beliau keluar di hari ke-21 ya kan. Karena beliau di sini dikatakan sampai ketika Lailatul sampai pada malam 21. “وَهِيَ لَيْلَةُ الْقَدْرِ” (yaitu malam yang besok paginya Rasul صلى الله عليه وسلم keluar untuk berkhotbah). Lalu Beliau mengatakan yang pengen iktikaf bersamaku maka ayo kita tambah lagi. Hendaklah dia ketika pada 10 hari terakhir. Berarti kalau diambil dari pemahaman hadis ini seolah-olah 10 hari terakhir mulai dari hari ke-22. Karena Nabi صلى الله عليه وسلم malam 21 sampai pada tanggal 21-nya beliau malah keluar. “Ayo kita balik lagi.” Berarti seolah-olah mulai iktikaf dari baru lagi pada tanggal 22. Tapi riwayat ini justru bertentangan dengan bagian akhir hadisnya. Karena di bagian akhir hadisnya Beliau mengatakan, “Aku sudah melihat malam hari ini kayaknya akan terjadi Lailatul Qadar. Aku sudah ditunjukkan oleh Allah lailatul qadar ini malam ini. Tapi setelah itu aku dilupakan lagi sudah mau ditunjukkan tapi dilupakan lagi oleh Allah tanda-tandanya. Kalau malam Lailatul Qadar terjadi Hari itu malam harinya aku tidur saya afwan aku sujud ya. Aku sujud di tanah berlumpur yang bercampur dengan air dan tanah.” “عَيِّنُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ، وَفِي كُلِّ وِتْرٍ” (Ayo cari di 10 hari terakhir dan cari pada setiap malam ganjil). Kata Abu Sa’id ngomong, “Bersabda malam hari itu malah turun hujan waktu itu hanya beralaskan pelepah kurma bahwa kapal masjid sampai air itu netes-netes membasahi masjid.” Rasulullah صلى الله عليه وسلم.
Artinya beliau ingin cerita betul-betul karena dalam riwayat disebutkan bahwa Yahya Ibnu Abi Katsir bertanya kepada Abu Sa’id Al-Khudri hadisnya Rasulullah صلى الله عليه وسلم tentang Lailatul Qadar. Dan ini dalam beberapa riwayat dikatakan bahwa Yahya Ibnu Katsir sengaja ngajak Abu Sa’id menuju ke kebun kurma diajak, “Ayo Anda mau enggak jalan-jalan ke kebun kurma kita enak-enak di sana duduk-duduk begitu.” Sampai di sana beliau ingin bertanya. Di antara pelajarannya adalah seorang طَالِبُ الْعِلْمِ (tholibul ilmi) ketika ingin bertanya dia siapkan gurunya agar nyaman menjawab pertanyaan. Jangan sambil jalan sambil capek atau apa ditanya begitu nanti jawabannya marah. Tapi cari posisi yang paling nyaman sehingga dia bisa bertanya dengan bebas. Diajak menyendiri. Kemudian pada saat itu hujan, hujan kemudian ada bekas air hujan itu. Teringatlah sang Abu Sa’id Al-Khudri kejadian bersama Nabi صلى الله عليه وسلم pada saat malam Lailatul Qadar. Akhirnya cerita tentang hadis ini.
Jadi intinya dalam hadis ini ditunjukkan bahwa lailatul qadar terjadi pada saat hujannya malam 21. Berarti kan bertolak belakang dengan Tadi riwayatnya Nabi صلى الله عليه وسلم pada pagi 21 ceramah yang pengen iktikaf lagi ayo balik. “Sekarang berarti mulainya 22 dong.” Sementara di sini malah kejadian di tahun yang sama kejadian turun hujan itu malam 21. Dan pagi hari 21 Abu Sa’id mengatakan, “Aku betul-betul melihat dibantu atau jihad atau apanya ini ada lumpurnya, ada lumpurnya belum hilang sama sekali.” Kata Hafiz Ibnu Hajar, “Ini ada anjuran seorang tidak usah menghilangkan bekas sujudnya sekalipun ada kotoran-kotorannya.” Akan tetapi beliau menukil perkataan ulama kalau tidak banyak kalau banyak dihilangkan tidak apa-apa. Tapi kalau saya tidak banyak maka tidak apa-apa tidak dibersihkan. Dan Nabi صلى الله عليه وسلم sampai terlihat ini ada آثَار bekas lumpurnya. Kata Hafiz Ibnu Hajar, “Itu bukan آثَار saja itu.” Itu sering نَجِسَ (najisa) begini, masih nempel-nempel banyak karena buktinya betul-betul kelihatan sekali itu malam 21. Bagaimana jawabannya untuk mengkompromikan? اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ mengatakan dalam bahasa Arab dalam bahasa Arab dia ketika menceritakan وَلَيْلَةٌ الَّتِي يُتَحَرَّى فِيهَا الْقَدْرُ yaitu malam yang pagi harinya itu bisa ditafsirkan kemarin. Berarti Nabi صلى الله عليه وسلم keluarnya adalah pada tanggal 20 sore. Dan ada riwayat yang disebutkan seperti itu secara jelas. Rasul صلى الله عليه وسلم keluar dari masjid dari iktikafnya bahkan sempat ke rumah dulu beberapa saat itu pada tanggal 20 sore sehingga malam 21 beliau kembali ke masjid sampai turun hujan itu. Maka sebagian ulama mengatakan lailatul qadar mungkin sekali muncul pada tanggal 21 alias malam 21. Dan ini yang diyakini oleh Mazhab Syafi’i. Mazhab Syafi’i mengatakan أَرْجَى لَيْلَةِ الْقَدْرِ (arjā laylatul qadar) malam 21 dan 23. Di antara dalilnya adalah hadis Abu Sa’id ini. Allah. [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] اللَّهُ أَكْبَرُ.
Hukum dan Adab Itikaf
Hadis-hadis berikutnya 4 hadis tentang iktikaf. Dan kita tahu iktikaf tujuannya adalah untuk mengejar itu tadi. Seorang berusaha untuk mendapatkan Lailatul Qadar. Dan ini bisa kita niatkan dari sekarang. Kita ingin kalau tidak ada halangan, tidak ada uzur maka kita ingin melaksanakan iktikaf pada tahun ini. Ini merupakan kesempatan orang kalau sudah berkeluarga mau iktikaf susah, luar biasa luar biasa. Maka selagi kita ada kesempatan jangan ditunda. Bisa jadi ke depan kita akan susah untuk iktikaf. Mau di mana saja kita akan bahas. Rasulullah صلى الله عليه وسلم dari Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. Rasulullah صلى الله عليه وسلم terbiasa iktikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadan sampai Allah wafatkan beliau. Kemudian istri-istrinya melanjutkan kebiasaan iktikaf sepeninggal beliau. Dalam riwayat lain dikatakan karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم terbiasa iktikaf setiap Ramadan apabila beliau salat subuh, maka beliau baru akan mendatangi tempat iktikafnya.
Hal-hal yang Membatalkan dan Tidak Membatalkan Itikaf
Kemudian hadis kedua dari Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam keadaan haid padahal Nabi صلى الله عليه وسلم. Nabi صلى الله عليه وسلم apa namanya mengeluarkan kepalanya sampai dikatakan يُمِدُّ (yumiddu) kepalanya dikeluarkan begini dari masjid di sisir oleh Aisyah dari rumahnya. Beliau memberikan kepalanya ambil disisir. Bahkan dalam riwayat dikatakan bahwa aku mandikan kepalanya, aku cuci. Ini menunjukkan bahwa dibolehkan perbuatan seperti itu. إِحْسَان (ihsan). Dalam riwayat Muslim disebutkan dan beliau صلى الله عليه وسلم ketika beretikaf tidak masuk rumah kecuali kalau ada kebutuhan seorang manusia yang wajar. Disebutkan oleh Az-Zuhri رَحِمَهُ اللَّهُ. Ini ditafsiri oleh Az-Zuhri disebutkan oleh الْبَوْلُ (al-baulu) maksudnya adalah buang hajat. Tidak mungkin buang hajat di masjid kecuali kalau masjidnya ada kamar mandi yang disiapkan. Kemudian para ulama juga menyebutkan bahwa semua yang dibutuhkan orang kalau seandainya tidak bisa dilakukan di masjid boleh dilakukan di luar. Contohnya adalah bersuci wudu. Kemudian termasuk apabila ada orang yang muntah, masuk angin enggak biasa di luar rumah, pindah rumah dia pindah ke masjid. Masuk angin atau masuk angin karena AC-nya pakai AC enggak biasa pakai AC soalnya dia muntah keluar dia keluar. Nah ini dibolehkan. Termasuk makan dan minum. Kalau seandainya tidak ada panitianya lalu dia ingin melakukan iktikaf dan dia harus makan dan minum di luar maka boleh dia keluar. Bahkan seandainya dia beli dulu, enggak ada masalah selama kebutuhan itu tidak bisa didapat kecuali dengan cara seperti itu. Setelah dia laksanakan kebutuhannya dia segera pulang ke masjid.
Dalam riwayat Muslim juga dari Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا mengatakan, “إِنْ كُنْتُ لَأَدْخُلُ الْبَيْتَ وَأَنَا مُعْتَكِفَةٌ فَيَمُرُّ بِي الْمَرِيضُ فَأَسْأَلُ عَنْهُ وَأَنَا مَاشِيَةٌ وَلَا أَقِفُ” (Saya tidak masuk rumah dan terkadang aku masuk rumah ada orang sakit di situ). Tapi karena memang aku sedang iktikaf maka aku tidak sedang ingin santai-santai dengan orang yang sakit itu. Aku duduk gimana supaya enakan atau belum. Aku buatkan apa tanya tentang kabarnya gimana, mimpi apa enggak usah tanya begitu ya. Maka dalam riwayatnya dikatakan sama إِلَّا وَأَنَا مَارَّةٌ (kecuali aku hanya sekadar lewat). “Aku sampai tidak tanya kepada si orang yang sakit tadi kecuali dalam keadaan aku jalan salamin tanya tapi memang tidak ingin untuk mengunjungi orang yang sakit itu.”
Hadis berikutnya dari Umar Bin Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. “يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ” (Ya Rasulullah, ini aku pernah nazar di masa jahiliah satu malam dalam riwayat yang lain dikatakan satu hari di Masjidil Haram). Maka Rasul صلى الله عليه وسلم mengatakan, “أَوْفِ بِنَذْرِكَ” (tunaikan nazarmu). Dalam riwayat lain dikatakan aku pernah nazar untuk iktikaf di Masjidil Haram dalam keadaan aku masih musyrik jadi jahiliah yang dimaksudkan ini ketika beliau betul-betul masih belum masuk Islam. Kemudian Nabi صلى الله عليه وسلم mengatakan tunaikan. Walaupun jumlah أَيَّام (ayyam) dalam beberapa riwayat tidak disebutkan jumlah bilangan harinya. Berapa hari beliau pengen nazar iktikaf.
Terakhir hadis dari Safiyah binti Huyay رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. Rasulullah صلى الله عليه وسلم pada سَحُور dalam satu malam aku datang kemudian aku ajak bicara beliau lalu aku balik. Aku berdiri untuk balik. Maka beliau bangun untuk mengantarku pulang. Bagaimana? Dan rumah Safiyah ini posisinya kalau sekarang adalah rumah yang ditempati oleh Usamah bin Zaid. Ini maksud tafsiran dari hadis ini begitu. Jadi dulu rumah ini ditempati oleh Safiyah setelah itu rumah-rumah itu diwarisi dan termasuk dibeli atau diwarisi oleh Usamah bin Zaid dan ditempati. Itu yang menceritakan ini mengatakan bahwa sekarang rumah ini sudah ditempati oleh Usamah bin Zaid artinya ini menunjukkan jarak perjalanan Nabi صلى الله عليه وسلم dari masjid ke rumah Usamah bin Zaid ini berapa. Lah ini menunjukkan boleh mengantar orang yang tidak iktikaf. Orang yang iktikaf ngantar orang yang tidak iktikaf. Dan boleh seseorang ngobrol ketika dia sedang iktikaf. Dan boleh seseorang ngobrol dengan istrinya. Dan itu tidak mengganggu maupun membatalkan jika yang mengganggu adalah مُبَاشَرَة (mubasyarah) itu artinya bercumbu. Akan tetapi dalam tafsiran ayat itu bukan bercumbu akan tetapi berhubungan badan. Dan ini diriwayatkan oleh At-Thabari رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَىٰ beliau bahkan mengatakan bahwa semua ulama sepakat yang dikatakan dalam ayat, “وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ” (jangan kalian bermubasyarah selama kalian iktikaf di masjid). Maka para ulama sepakat tafsiran di situ artinya adalah جِمَاع (jima’) berhubungan badan. Kenapa demikian? Atau dari menukil sebab nuzul ayat ini bahwa dulu orang-orang apabila ingin keluar dari iktikaf sebentar saja ketemu dengan istrinya eh ternyata dia berhubungan badan padahal dia sedang iktikaf sekalipun hubungan badannya di luar masjid. Ternyata ayat ini muncul Artinya mereka iktikaf kemudian mereka keluar dari masjid lalu mereka ternyata berhubungan badan dengan istrinya di rumahnya ternyata etika mereka batal.
Muncul firman Allah ini, “Jangan kalian berhubungan badan dengan istri-istri kalian sedangkan kalian sedang iktikaf di masjid.” Berarti مُبَاشَرَة di sini artinya adalah hubungan badan. Kemudian iktikaf itu harus dilakukan di masjid. Kenapa? Karena hubungan badan dilarang padahal hubungan badan tidak dilakukan di masjid. Itu dilakukannya sedang di rumah. Orang yang melakukan ternyata tetap dilarang berarti iktikaf itu tidak boleh dibatalkan dengan hubungan badan sekalipun melakukannya di rumah tetap enggak boleh. Dan jika harus di masjid. طَيِّبٌ.
Kemudian hadis ini kemudian disebutkan, “سَارَ رَجُلَانِ مِنَ الْأَنْصَارِ” (dua orang Ansar yang datang lewat). Dalam beberapa riwayat disebutkan lewat itu menuju ke sebuah arah. Lalu ketika mereka melihat Rasul صلى الله عليه وسلم ketika dua orang ini melihat Nabi صلى الله عليه وسلم mereka cepat jalannya. Dalam riwayat dikatakan dua orang ini kemudian berbalik arah. Kalau seandainya mereka tidak berbalik maka mereka akan gampang ditahan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم. Berarti mereka datang menuju ke arah Rasulullah صلى الله عليه وسلم berdiri. Tapi karena mereka sedang menuju ke Nabi صلى الله عليه وسلم melihat itu dalam riwayat dikatakan فَاسْتَحْيَا (fastahya) maka dua orang itu malu. Akhirnya mereka kembali. Oleh Nabi صلى الله عليه وسلم dipanggil, “عَلَى رِسْلِكُمَا” (antar santai-santai ini). “Ini Safiyah ini istri aku ibu kalian.” “Enggak usah ngomong macam-macam, enggak usah nyangka macam-macam.” Maka mereka mengatakan, “سُبْحَانَ اللَّهِ يَا رَسُولَ اللَّهِ” (Subhanallah ya Rasulullah). “Subhanallah enggak mungkin kita mau mikir apa-apa untuk Anda ya Rasulullah.” Cuman kita melihat makam malu dalam mereka dikatakan dua orang itu malu melihat Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan seorang wanita. Tapi Nabi صلى الله عليه وسلم mengatakan, “إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الْإِنْسَانِ مَجْرَى الدَّمِ” (Artinya aku tidak ingin menuduh kalian, aku tahu kalian tidak akan suuzan kepadaku). “Tapi aku khawatir setan itu jalan melalui peredaran darah manusia. Aku khawatir dia akan membisikkan atau menggoda atau membuat kalian terpengaruh sehingga timbullah سُوءُ الظَّنِّ (su’u az-zann) di hati kalian.”
Dalam riwayat Muslim yang ketika saat itu iktikaf di masjid di 10 hari terakhir bulan Ramadan, beliau duduk beberapa saat ngobrol. Saat di sini maksudnya bukan satu jam akan tetapi beberapa waktu. Dan dalam riwayat yang lain setelah habis Isya kemudian dia pulang. Pokoknya Nabi صلى الله عليه وسلم kemudian mengantarkan beliau sampai ke pintu rumah Ummu Salamah. Sebagian mazhab yaitu mazhab Hanafiyah mengatakan boleh seorang yang iktikaf pulang ngantar istrinya kalau datang ke masjid. “Kenapa Nabi صلى الله عليه وسلم keluar sampai ke rumah istrinya ini melewati pintunya Ummu Salamah berarti jalannya jauh.” Kata Hafiz, “Enggak jelas itu belum tentu bisa jadi rumahnya dekat.” Hanya memang rumah sang Safiyah ini paling jauh di antara rumah-rumah istrinya. Bahkan dalam beberapa riwayat itu menyebutkan bahwa tadinya tadinya yang duduk bersama Nabi صلى الله عليه وسلم enggak cuman Safiyah bahkan banyak ada istri-istrinya yang lain ngobrol-ngobrol-ngobrol kemudian فَقُمْنَا (fa qumna) mereka semua pula. Tinggal Safiyah. Nabi صلى الله عليه وسلم tidak pengin memberi waktu untuk Safiyah yang sedikit ingin beliau semuanya sama memiliki waktu yang sama untuk berbicara. Akhirnya dibiarkan kamu di sini dulu nanti saya antar. Tadi menunjukkan bagaimana تَوَاضُع (tawadu’) pun Nabi صلى الله عليه وسلم. Bagaimana beliau lemah lembut perhatian kepada istrinya. Dan ini juga dibolehkan seorang berbicara dengan istrinya. Seorang wanita keluar malam kata Hafiz Ibnu Hajar boleh seorang wanita keluar malam akan tetapi jika aman dari fitnah. Kemudian boleh diantar dan sebagainya.
Intinya إِخْوَة sekalian hadis-hadis ini berkaitan dengan iktikaf dan kita tahu iktikaf itu artinya adalah tinggal di masjid. Sebenarnya iktikaf itu secara bahasa tidak hanya tinggal di masjid akan tetapi tinggal di mana saja. Orang menggeluti atau perhatian dengan sebuah benda diam di situ maka itu bisa dikatakan iktikaf juga. “انْظُرْ إِلَى إِلَهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا” (Lihat Tuhanmu yang kamu iktikafin karena disembah ditungguin seperti itu). Maka itu juga bisa dikatakan iktikaf ya. “يَعْكُفُ عَلَيْهِ” (ya’kufu ‘alaihi) dia betul-betul ngelihatin mantengin jagain dan terus seperti itu. Seperti mahasiswa mau ujian sampai tengah malam enggak tidur dia mantengin مُذَاكِرَة kayak gini ini bisa dikatakan يَعْكُفُ عَلَى الْمُقَرَّرِ itu boleh ya. Artinya dalam bahasa dalam syariat itu tinggal di masjid dengan niat dan dengan cara tertentu. Orang yang ingin melaksanakan iktikaf sesuai dengan sunah maka dia melaksanakannya 10 hari terakhir karena Nabi صلى الله عليه وسلم akhirnya pada akhirnya melaksanakan 10 hari terakhir sekalipun sebelumnya pernah 10 hari tengah atau 10 hari pertama. Akan tetapi ini disebut oleh Hafiz Ibnu Hajar para ulama sepakat tidak ada batas maksimal orang pengen iktikaf sepanjang-panjangnya boleh yang jelas dia tidak melupakan kewajibannya. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat batas minimal untuk iktikaf itu seberapa. Ada yang mengatakan 10 hari minimal karena bisa 10 hari. Ada mengatakan sehari. Ada yang mengatakan sehari semalam. Dan dua-duanya menggunakan riwayat Umar Bin Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Kemudian ada yang mengatakan walau cuma setengah hari atau lebih kurang dari itu karena intinya seorang iktikaf itu tinggal di masjid. Bahkan ada riwayat dari sebagian sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم dia melewati masjid beberapa saat sengaja dia lewat jalan begini kemudian dia mengatakan, “Aku pengen iktikaf di masjid.” Padahal cuma lewat. Maka dalam darah dikatakan sekalipun seseorang lewat di masjid kalau dia niat iktikaf sah itu iktikafnya. Kalau orang ingin iktikaf sesuai dengan sunah Nabi صلى الله عليه وسلم maka dia niatkan dengan jumlah yang seperti ini.
Kemudian para ulama apakah orang yang iktikaf harus puasa atau tidak? Memang pelaksanaan Nabi صلى الله عليه وسلم beliau ketika di Ramadan berarti siang harinya beliau puasa malam harinya terus lanjut. Sebagian ulama mengatakan orang yang berpuasa eh orang yang iktikaf dia harus berpuasa. Akan tetapi جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ mengatakan tidak harus, tidak wajib. Di antara dalilnya adalah sabda Nabi صلى الله عليه وسلم yang memerintahkan Umar untuk iktikaf ketika beliau nazar di masa jahiliah. Kapan terserah dalam riwayat dikatakan malam hari satu malam. Maka para ulama mengatakan tidak mungkin orang puasa malam hari paling enak itu puasa malam hari ya kan tinggal tidur aja. Tapi karena malam bukan مَحَلُّ الصَّوْمِ maka seseorang ketika niat iktikaf malam hari iktikafnya sah dan tidak harus dia berpuasa. Ditambah lagi Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah pula beliau tidak berpuasa pada saat iktikaf. Disebut dalam صحيح البخاري disebabkan ketika Nabi صلى الله عليه وسلم sedang iktikaf dan beliau mulai menggunakan tenda beliau perintahkan para sahabat untuk menyiapkan tenda untuk beliau. Para ulama mengatakan dibolehkan seseorang ketika ingin iktikaf membuat tempat khusus yang lebih privasi di dalam masjid itu. Entah sajadah, entah tempat ditutup atau pakai tenda selama tidak mengganggu kaum muslimin. Nabi صلى الله عليه وسلم menggunakan itu. Setelah itu Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا buat ternyata enggak. Berapa lama Hafsah bikin setelah itu tidak. Berapa lama Zainab bikin ketika besok sempat keluar balik ke masjid lihat, “Loh ini ada أَخْبِيَةٌ ini ada perkemahan.” Nah beliau enggak suka, marah beliau. Kemudian beliau batalkan di tahun itu beliau tidak iktikaf. Baru setelah itu beliau qada iktikafnya di bulan Syawal 10 hari. Ini ada anjuran seorang ketika meninggalkan sebuah ibadah sunah kalau dia mau qada silakan. Tapi sunah tetap karena ibadah aslinya aja sunah maka mengqadanya juga sunah. Di antara dalilnya ini.
Maka pernah Syekh Salat Muhammad beliau satu saat di majelis kemudian ada salah satu murid yang mengatakan, “Syekh Afwan di tangan Anda ada cat.” Beliau lihat سُبْحَانَ اللَّهِ beliau cuma ingat-ingat, “Kapan saya berhubungan dengan cat?” Akhirnya beliau ingat. Kemudian beliau berhubungan dengan cat itu. Beliau hilangkan dulu catnya kemudian ingat-ingat berarti saya ada salat sekian yang harus diqada. Semua salat fardunya, semua salat sunahnya. Beliau sampai salat malamnya, salat duanya. مَا شَاءَ اللَّهُ ini kelihatan bahwa beliau semangat sekali tidak mau ketinggalan dari amal ibadahnya. Jadi intinya dalam pembahasan puasa ya وَاللَّهُ أَعْلَمُ pendapat yang kuat adalah seseorang tidak harus untuk berpuasa kalau mau iktikaf. Tapi para ulama sepakat kalau seandainya dia bisa gabungkan antara iktikaf dengan puasa itu أَفْضَلُ. Ada pendapat yang diriwayatkan dari Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. Beliau mengatakan untuk hendaklah dia tidak menjenguk orang sakit, tidak mengikuti pemakaman, kemudian juga dia لَا يُبَاشِرُ (tidak berhubungan badan dengan istrinya), tidak juga bercumbu, وَلَا يَخْرُجُ (tidak keluar dari rumahnya) kecuali kalau dia terpaksa harus keluar maka silakan keluar. Kemudian beliau mengatakan, “Tidak boleh seorang iktikaf kecuali dia harus berpuasa bareng. Kemudian tidak boleh seorang iktikaf kecuali di masjid yang digunakan untuk salat berjamaah dan salat Jumat.”
Tapi kata Abu Dawud رَحِمَهُ اللَّهُ yang benar riwayat ini مَوْقُوف (mauquf) sehingga ini menjadi pendapat Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا. Dan memang Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا berpendapat demikian. Ada orang berpuasa ada orang iktikaf dia harus puasa. Dan ini juga pendapatnya Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan beberapa sahabat lainnya. Akan tetapi جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ mengatakan tidak harus. Dan mereka mengatakan juga bahwa dalilnya adalah itu kan ayat berkaitan dengan iktikaf. Padahal sebelumnya Allah berbicara tentang puasa. Mereka ambil kesimpulan ketika Allah gandengkan dua pembahasan itu berarti orang iktikaf harus puasa. Kata جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ, “Enggak harus itu dua pembahasan berbeda. Kalau kita mau nurut dengan kalian maka kita katakan sebaliknya. Sebagaimana orang iktikaf harus puasa, maka orang puasa harus iktikaf.” Enggak ada peradaban ulama satu pun yang mengatakan demikian. “Orang puasa harus iktikaf?” Kenapa dalilnya itu kan. Enggak ada yang mengatakan seperti itu berarti pendalilan kalian itu salah. Jadi intinya iktikaf tidak harus apa namanya puasa.
Waktu Memulai Itikaf dan Hukum Sentuhan dengan Wanita
Kemudian kapan mulai iktikaf? Dalam hadis yang tadi kita baca menunjukkan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم beliau akan salat subuh terlebih dahulu. Salat subuh dulu kemudian masuk ke tempat iktikaf. Ini bertentangan dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم mulai iktikaf di 10 hari terakhir. 10 hari terakhir mau 10 hari atau mau 9 hari mulainya dihitung dari pertama hari pertama masuk ke 10 hari. Dan dalam penanggalan Hijriyah pergantian hari itu dimulai dengan magrib berarti pada malam malam 21 seorang sudah dianjurkan untuk masuk ke masjid. Dan ini mereka memulai iktikaf dari malam 21 kalau 21. طَيِّبٌ sekarang bagaimana hadis ini فَإِذَا صَلَّى الصُّبْحَ (fa iza sallash subh) salat subuh dulu baru masuk? Maka para ulama mengatakan maksudnya bukan masuk masjid tapi masuk ke tempat khusus beliau untuk iktikaf. Dan tadi kita sudah sebutkan bahwa boleh seseorang menggunakan tempat yang lebih kecil lebih khusus untuk beribadahnya. Maka yang dimaksudkan dalam hadis ini Rasul صلى الله عليه وسلم masuk ke masjid malam hari malam 21. Akan tetapi baru mulai masuk ke tempat iktikaf yang mau dijadikan tempat ibadahnya adalah pada pagi hari tanggal 21. طَيِّبٌ.
Kemudian di hadis berikutnya pelajarannya adalah seorang wanita yang haid tidak boleh masuk ke masjid. Buktinya Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا tidak masuk masjid padahal beliau punya keinginan dan kepentingan untuk melayani suaminya. Daripada nyisir dari rumah keluar sebentar apa susahnya ya kan. Akan tetapi ini menunjukkan bahwa beliau orang yang haid tinggal di rumah tidak masuk masjid. Kemudian orang yang haid tidak kotor dan najis sebagaimana menyentuh wanita tidak membatalkan wudu. Seandainya menyentuh wanita membatalkan wudu maka Nabi صلى الله عليه وسلم itu tidak akan mengeluarkan kepalanya malah dicuci disisir dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa wanita yang haid tidak najis. Yang kedua tidak membatalkan wudu karena bisa disisir untuk siap-siap salat. Masa mau tidur disisir dulu ya. Jadi orang siap-siap menyisir karena ingin beribadah. Dan sebenarnya ada hadis yang lebih tegas dalam صحيح مسلم. Bahkan dalam صحيحَيْنِ disebutkan, “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ وَيُصَلِّي وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ” (karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم salat terbaring kayak jenazah begini di depan Rasulullah صلى الله عليه وسلم yang salat menghadap kiblat). Kalau beliau akan sujud beliau akan sentuh kakiku. Maka aku akan tarik kakiku sehingga tidak menghalangi sujud beliau. Ini menunjukkan bahwa menyentuh menyentuh begini tidak membatalkan salat dan membatalkan wudu. Tidak membatalkan wudu.
Ada dalil dalam satu malam aku kehilangan Nabi صلى الله عليه وسلم maka aku cari-cari begini karena rumahnya gelap. Aku cari-cari maka tanganku menyentuh kaki beliau yang sedang berdiri dua telapak kakinya berdiri begini. Kenapa? Karena beliau sedang sujud otomatis kakinya berdiri. Tanganku kena. Kalau seandainya menyentuh wanita membatalkan wudu beliau akan batal salatnya dan tidak bisa dinyatakan bahwa itu khususnya Nabi صلى الله عليه وسلم tidak batal karena hukum asalnya tindakan beliau adalah contoh untuk umatnya. Syafi’iyah mengatakan bahwa nyentuhnya itu pakai حَائِل (hail) atau pembatas. Tapi itu adalah jawaban yang agak تَكَلُّف (takalluf) atau menyusahkan diri. Kenapa? Orang tidur masa cari حَائِل dulu baru nyentuh kaki nabi. Nyari-nyari kalau seandainya khawatir membuat untuk Nabi صلى الله عليه وسلم batal maka dia cari kaos tangan dulu. Zaman dulu pakaian orang terbatas sekali sehingga kok sampai mikir cari kaos tangan susah. Kalaupun seandainya harus cari kain dulu dipasang begini juga susah. Karena memang sebenarnya beliau kehilangan Nabi صلى الله عليه وسلم mana suamiku ini sampai akhirnya seperti itu. Ini menunjukkan bahwa ini tidak membatalkan untuk.
Tempat Itikaf dan Keluar dari Masjid
Kemudian mengeluarkan sebagian anggota badan ketika iktikaf tidak dianggap mengeluarkan badan. Kalau keluar badan dari masjid maka membatalkan iktikaf dia, membatalkan iktikaf dia. Sehingga para ulama mengatakan dianjurkan iktikaf itu dilakukan di masjid yang digunakan untuk salat jamaah. Memang ada masih tidak dipakai untuk salat jamaah. Ada enggak ada masjid rumah. Hanafiyah mengatakan seorang wanita lebih أَفْضَلُ kalau dia iktikaf di masjid rumahnya, masjid pribadinya. Dalam mazhab sebagian ulama Malikiyah mengatakan laki-laki pun boleh seperti itu. Bahkan sebagian ulama dari mazhab Malikiyah mengatakan tidak boleh di mana saja sampai di bawah pohon juga boleh. Tapi ini menyelisihi umum. جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ mengatakan yang namanya iktikaf itu di masjid dan diharapkan dia memilih masjid yang bisa digunakan untuk salat berjamaah. Kalaupun harus keluar untuk Jumatan maka dia perlu يَسْتَرِيحُ (yastarihu) istirahat. Dia meminta kepada Allah, “Aku mau iktikaf tapi nanti ketika Jumatan aku keluar.” Kalau dia sudah istirahat seperti itu maka iktikafnya tidak batal. Tapi kalau dia tidak istirahat maka dia keluar batal iktikafnya. Ini disebutkan dalam Mazhab Syafi’i dan Hanabilah يَسْتَرِيحُ. Dan boleh seseorang beristirahat kepada Allah, “Aku ingin seperti ini kalau aku seperti ini boleh.” Hitung-hitungan sama Allah lagi enggak apa-apa seperti orang nazar. Nazar kan begitu hitungan juga. “Aku mau puasa tapi kalau aku diterima S4 misalkan.” Seperti itu. Di antara yang dibolehkan dalam iktikaf bahkan اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ menyebutkan pembahasan seperti ini. Orang mengeluarkan sebagian anggota badan dia bersumpah kepada Allah, “Demi Allah aku tidak akan keluar dari rumah.” Ternyata yang keluar dari rumah kepala sama tangannya begini. Maka dia tidak perlu membayar kafarah karena hakikatnya Dia tidak sedang keluar rumah tapi mengeluarkan sebagian. Tapi tetap hati-hati itu harus seperti itu. Bahaya mengeluarkan anggota badan seperti itu.
عَلَى كُلِّ حَالٍ (ala kulli hal) ini sebagian saja dari beberapa pembahasan Ramadan dan mudah-mudahan ada manfaatnya. Sebenarnya banyak yang banyak belum disebutkan. Akan tetapi ini sebagian saja. Kalau saya hitung-hitung dari pertemuan kita satu semester ya kita sampai pada hadis ke-33 atau hampir 40 itu semester. مَا شَاءَ اللَّهُ. Kalau kita membahas hadis-hadis ini ini ada sekitar kita lompat lompat sekitar 50 hadis dari 50 hadis dari pembahasan urut kita kemungkinan kalau kita sampai tahun depan kita ketemu lagi hadis ini pas Ramadan juga. Mungkin kita bisa ulang. وَاللَّهُ أَعْلَمُ tergantung bagaimana kebetulan waktunya. وَاللَّهُ أَعْلَمُ. Ini pertanyaannya numpuk sekali pertanyaan dua pertemuan yang lalu kan agak ngerti pertemuan malam hari ini ada pertanyaan apa tidak. Tapi saya sudah sampaikan kalau memang tidak sempat maka habis lebaran jawabnya. Tapi Anda bisa tanyakan kalau seandainya memang Anda ngebet sekali untuk mendapatkan jawabannya. Anda bisa tanyakan di majelis Syekh Ramadan nanti ada 30 hari majelis setiap sore ya. Kan setiap sore إِنْ شَاءَ اللَّهُ akan ada banyak majelis. Kalau tidak Anda juga bisa ditanyakan ke Ustaz Anda yang ngajar di kelas atau tanyakan ke fatwa TV.
Tanya Jawab: Lailatul Qadar, Penetapan Waktu Salat, dan Niat Puasa
Pertanyaan: Apakah orang yang salat Tarawih yang ternyata itu bertepatan malam Lailatul Qadar itu sudah mendapatkan kemuliaan beribadah di malam hari itu atau yang mendapatkan malam itu hanya orang yang bersungguh-sungguh mencarinya?
Jawab: Yang tadi kita sudah sebutkan bahwa sebagian orang bisa mengenali atau merasakan dan sebagainya bahwa malam itu kuat sekali akan terjadi lailatul qadar sehingga dia menambah kesungguhannya. Akan tetapi ada orang yang tidak seperti itu yang penting dia beribadah. Jadi patokannya kita hanya tingkatkan ibadah kita saja tidak perlu menyibukkan sendiri. Karena ada beberapa riwayat mengatakan malam Lailatul Qadar akan tenang, tidak ada panas, tidak ada dingin. Kita salat di masjid yang ada AC-nya dingin jelas itu ya. Pakai Anda pokoknya perhatian lebih pada ibadah saja enggak usah cari yang seperti itu. Sampai habis waktu Anda.
Pertanyaan: Bukankah setiap orang bisa mendapatkan lailatul qadar karena setiap orang masih salat tarawih pada Ramadan itu atau memang ada waktu malam yang khusus tentang datangnya malam itu sepertiga Malam Terakhir?
Jawab: Tidak ada ketentuan malam sepertiga Malam Terakhir. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ (salamun hiya hatta matla’il fajr) keselamatan pada malam hari itu sampai terbit fajar. Para ulama mengatakan kesempatan itu bisa dari sejak magrib sampai Fajar. Baik.
Pertanyaan: Kemudian berikutnya Apakah boleh menerapkan penetapan waktu salat dengan jam atau hisab pada penuntut awal bulan Ramadan?
Jawab: Hukum asalnya menggunakan matahari dan waktu hukum asalnya. Akan tetapi ketika seorang kesulitan untuk mendapatkan itu maka boleh dia menggunakan persaksian orang yang dipercaya. Dan di antara cara itu menggunakan hitung-hitungan orang yang sudah bisa dalam hal itu untuk memudahkan kita. Dan para ulama memberikan fatwa khusus dalam hal itu menggunakan تَقْوِيمُ أُمِّ الْقُرَى (taqawim ummul qura) di Arab Saudi mereka berpijak pada kalender dan penanggalan أُمِّ الْقُرَى. Dan seringkali atau hampir semuanya cocok dengan jam yang asli atau waktu yang asli.
Pertanyaan: Bagaimana yang dilakukan pada penentuan awal bulan Ramadan dengan melihat Hilal atau hikmah 30 hari? Apakah juga berlaku pada bulan-bulan yang lain seperti Muharram, Safar?
Jawab: Iya betul. Iya. Dan para ulama juga mengatakan untuk menentukan awal bulan juga perlu persaksian orang yang dipercaya sama semuanya. Hanya kaitannya dengan ibadah yang lebih sakral Ramadan dan hari raya termasuk di antaranya Zulhijah karena menentukan tanggal 9 Zulhijah. Semuanya sama semuanya.
Pertanyaan: Apakah mungkin lailatul qadar terjadi dua kali atau tiga kali dalam malam terakhir atau satu kali saja?
Jawab: وَاللَّهُ أَعْلَمُ satu kali saja. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ sudah terjadi. Dan اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ para ulama mengatakan bahwa mungkin terjadi di zaman-zaman kita. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ Sebagian ulama mengatakan sudah tidak akan terjadi lagi sudah terjadi sama Nabi صلى الله عليه وسلم sudah enggak akan terulang. Meskipun kita sampaikan tadi bahwa itu pendapat yang tidak perlu diterima. Ini yang dapat kita sampaikan mudah-mudahan bermanfaat dan kurang lebihnya mohon maaf. Rasulullah صلى الله عليه وسلم.