اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا1 إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ2 (Shallallahu) sekalian. Semoga Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ senantiasa memberikan kepada kita keikhlasan dan istiqamah di dalam belajar agama serta menempuh jalan yang benar. Ini merupakan keistimewaan, hadisnya banyak sekali, dan kitab أَخْلَاقُ الْعُلَمَاء menyebutkan berbagai riwayat tentang keistimewaan أَهْلُ الْعِلْمِ (ahlul ilmi), kemudian para penuntut ilmu.
Keistimewaan Penuntut Ilmu
Disebutkan di antaranya أَثَر (atsar) yang menunjukkan dan memperkuat hadis-hadis yang disebutkan. Di antaranya adalah hadis dari atau أَثَر dari Abu Darda. Beliau mengatakan, “كُلُّ مَا فِي الدُّنْيَا مَلْعُونٌ إِلَّا ذِكْرُ اللَّهِ وَمَا وَالَاهُ” (Semua yang ada di dunia ini, termasuk dunia ini, adalah hal yang dilaknat, kecuali zikir kepada Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ). Kemudian beliau mengatakan, “Orang yang belajar maupun orang yang mengajar pahalanya sama.” Artinya setiap ada keistimewaan yang menunjukkan tentang طَلَبُ الْعِلْمِ (tholabul ilmi), maka semua pengajar maupun yang belajar mendapatkan keistimewaan yang sama.
Didoakan oleh malaikat, didoakan oleh semua makhluk termasuk ikan-ikan yang ada di lautan. Kemudian beliau mengatakan, “Semua orang yang tidak termasuk pelajar maupun pengajar maka mereka semua adalah هَمَج (hamaj).” Artinya tidak bermanfaat, bahkan dalam beberapa artian adalah sesuatu yang dungu. Yang viral itu kata-kata dungu. Kemudian bahkan disebutkan oleh para ulama, asli dari kata-kata هَمَج adalah binatang kecil yang ada di hidungnya kerbau sehingga digerakkan begini pergi. Tapi dia suka tempat-tempat yang kotor. Orang-orang yang tidak mau belajar tertarik dengan agama mereka hakikatnya seperti itu. Maka di akhir pernyataan maupun menyebutkan tentang hadis-hadis itu, Al-Ajuri رَحِمَهُ ٱللَّهُ akhirnya mengatakan, “Terkadang ada orang yang mengatakan, ‘Yang penting dia sudah belajar paham, menghafal, berdiskusi, bukankah dia sudah belajar dan mendapatkan keutamaan itu?'” Iya, kita berharap bahwa setiap orang yang mendapatkan jatah kebaikan dia akan mendapatkan keutamaan itu. Akan tetapi ulama memiliki ciri khas, karakteristik, kemudian beberapa pembawaan sikap, perkataan, dan berbagai pekerjaan yang berbeda dari yang lain. Beliau katakan, “Aku akan sebutkan satu persatu dan semua yang beliau sebutkan itu berkaitan dengan dalil.” Artinya setiap poin yang beliau sebutkan semua ada dalilnya. Lalu beliau katakan, “Siapa di antara kita yang melihat sifat-sifat itu ternyata ada pada kita, hendaklah dia memuji Allah karena dia telah Allah jadikan sebagai orang yang memiliki sifat-sifat para ulama.” Akan tetapi jika ada yang tidak mendapatkan itu, ternyata banyak kurangnya. Dia sudah belajar, sudah menghafal, sudah tahu bagaimana teorinya akan tetapi ternyata belum bisa mengerjakan itu, hendaklah dia berbenah.
Adab dan Metode Belajar Ulama
Makanya kita diperintahkan untuk meneladani para ulama. Beliau sebutkan bahwa sang alim apabila beliau berangkat ke tempat kajian maka terkadang sang alim perlu adakalanya belajar atau berjalan sendirian. Sehingga ketika dia berjalan sendiri dia bisa manfaatkan untuk menghafal Al-Qur’an, مُرَاجَعَة (muroja’ah) hafalannya, تَدَبُّر (tadabbur) ayat-ayat Allah di dalam alam semesta. Ini kan jarang dilakukan. Bahkan kalau kita perhatikan para ulama mereka menghitung, “Aku punya pekerjaan di pasar, maka aku bagi dari sini ke sana aku zikir ini, dari sana ke tempat itu aku zikir ini sampai aku sampai di tempat jualan, balik begitu juga.” Artinya mereka tidak ingin kehilangan waktu untuk tanpa ada kegiatan aktivitas ibadah kepada Allah. Berangkat ke pasar sampai balik lagi, mereka ingin manfaatkan itu untuk zikir atau membaca Al-Qur’an kalau mereka jalan sendirian.
Adakalanya sang alim perlu bersama dan dia perlu memilih pula siapa kawan-kawannya yang akan dijadikan teman dekat. Untuk belajar saja mereka perlu kawan dekat agar tidak merugikan. Dan disebutkan beberapa biografi dari para ulama seperti Ibnu aku terkadang sengaja tidak menyampaikan materi hadis karena di antara hadirin ada orang yang susah untuk menerima itu. Ini disebutkan sebagai contoh bahwa terkadang orang terganjal dengan kawannya ini yang tanpa unsur kesengajaan. Bagaimana dengan orang yang sama sekali tidak mau belajar, tidak tertarik agama? Anda jadikan kawan, dia bisa merugikan Anda. Kalau Anda tidak bisa mewarnai, maka Anda akan terwarnai. Semangat Anda yang sudah membabi buta ingin belajar hilang tiba-tiba gara-gara ada kawan yang tidak mendukung belajar Anda.
Dan ini penting sekali. Saya ceritakan kepada Anda, ada sebagian إِخْوَة (ikhwah) ketika mereka berangkat kota Madinah, “Saya akan berteman sama ini, saya akan memiliki aktivitas penderita,” bahkan dicatat. Tapi ketika suatu saat Allah uji dia dengan kesulitan belajar, salahnya dia tidak mencari solusi yang tepat. Dia justru cari kawan-kawan yang tidak bisa belajar juga biar senasib sepenanggungan. Kalau dia jelek, tidak ada yang cela. Dia jelek karena yang lain lebih jelek. Padahal orang yang gagal macam-macam. Ada karena malas, ada karena masalah keluarga, ada yang karena memang dia tidak bisa, sebenarnya sudah rajin kalau ini faktor selain faktor nasib tapi karena memang dia belum beruntung. Tapi kalau yang malas-malas ini semakin dikawanin, semakin malas akhirnya benar, jadikan dia memang ya ini semua sudah ketentuan Allah. Akan tetapi yang jelas jika orang sudah memiliki tekad sekalipun ketika dapat kawan yang tidak mendukung dia bisa dalam kabut.
Maka para ulama ketika mereka berangkat pun pilih kawan ini. Waktu berjalan, kalau yang diajak berjalan itu orang yang ilmunya sama maka dijadikan untuk kawan berdiskusi. Kalau seandainya kawan yang diajak untuk berjalan bersama lebih pandai, maka dia manfaatkan ilmunya. Kalau seandainya yang diajak berjalan adalah orang yang lebih sedikit ilmunya, maka dia tidak berakhir untuk menyampaikan manfaat yang pernah dia pelajari. Dan ini merupakan karakter para ulama. Jadi mereka ingin menghargai ini baru berangkatnya. Bagaimana dengan sudah di majelisnya? Maka kita memang ketika mempelajari bagaimana metode para ulama belajar sehingga ilmu mereka sampai ke kita karena ternyata perjuangannya tidak gampang. Selain ikhlas mereka juga berjuang tidak seperti zaman sekarang. Maka bisa jadi penyebab-penyebab yang kita tidak lakukan itu membuat kita susah untuk belajar. Mungkin bermodal hafalan saja dan itu memang cukup untuk menjawab pertanyaan ujian, selesai. Tapi untuk mendapatkan keberkahan ilmu apalagi kita bisa amalkan, kita ajak orang untuk seperti itu sampai kita ajak untuk menghadap Allah dengan bertanggungjawabkan ilmu itu. Itu berat sekali, itu berat sekali.
Maka kita berharap kepada Allah yang kita laksanakan tidak ada yang sia-sia dan kita setiap hari berusaha memperbaiki kondisi kita semua. Kita merasa ada kekurangan dan bahkan banyak kekurangan itu, akan tetapi harus kita perbaiki terus-menerus. Dan semoga dengan seringnya kita hadir di majelis taklim ada curahan iman yang membuat kita semakin termotivasi karena kita sering mendapatkan para ulama yang hadir di majelis. Imam Ahmad sekitar 5000 yang mencatat dan menghafal hanya 500-an. Sisa ingin belajar dari sana, dari tingkah laku dan keteladanan pada diri Imam Ahmad رَحِمَهُ ٱللَّهُ.
Pentingnya Tawadhu dan Menghindari Kesombongan
Dan di antara faedah orang belajar di majelis taklim adalah pada saat dia akan memiliki kebiasaan tawadhu. Dia mau bersimpuh di majelis taklim ini susah dan mahal sekali. Ketika orang-orang merasa tidak perlu dengan ilmu agama, dia sempatkan dan dia paksakan dirinya untuk duduk dan mendengar merupakan keahlian yang tidak gampang orang bisa melakukan. Orang berbicara didengarkan senang, bisa jadi itu merupakan fitnah. Ada salah satu pernyataan kalau tidak salah juga mengatakan, “Di antara ujian orang apabila dia berilmu, paham agama, dia lebih suka ngomong daripada diam diri.” Sekalipun para ulama mengatakan tergantung situasi. Pada saat dia ditanya, dia sampaikan, dia jawab, tidak boleh dia simpan dan sembunyikan ilmu. Akan tetapi ketika seseorang bisa diam dan dia bisa memilih antara berbicara dan diam, maka hakikatnya dia lebih istimewa. Dan itu ternyata kita tidak lebih mudah. Kalau orang yang فَقِيه (faqih) saja dia lebih suka berbicara daripada diam, bagaimana orang tidak berilmu? Sehingga orang punya peribahasa Tong Kosong dilempar-lemparkan karena orang bodoh bisa sekarang akan dimanfaatkan. Maka jangan terlalu lugu. Orang alim jangan terlalu lugu apalagi orang bodoh belajar biar dia tidak dimanfaatkan orang.
Maka إِخْوَة sekalian, semoga dengan usaha kita belajar terus-menerus kita ingin memperbaiki diri kita dan setidaknya kita bisa mengikis kesombongan yang ada pada masing-masing diri kita. Karena terkadang orang ketika membaca lalu dia paham saja, ada kesombongan sedikit yang menghinggapi dirinya, “Wah aku sudah paham belajar untuk apa dengan aku,” bahkan mungkin dia tidak bisa baca. Ada istilah kutu buku itu tapi ternyata setelah dia baca dengan dengan apa namanya liar, ternyata dia akan terombang-ambingkan dengan bacaan dia pada saat dia tidak bisa pahami apa yang dia baca. Ditambah lagi, hukum asalnya belajar itu ambil dari ahlinya bukan dari buku. Ketika orang belajar dari buku saja, maka biasanya kesalahannya lebih banyak seperti itu. Dan ini yang ditegaskan berkali-kali oleh para ulama. Semoga Allah عَزَّ وَجَلَّ selalu memberikan kita تَوْفِيق (taufik).
Hadis Keempat dan Kelima: Adab Berwudu dan Membersihkan Najis
إِخْوَة sekalian, kita akan membahas hadis ke-4 dari Abu Hurairah. Dan إِنْ شَاءَ اللَّهُ kita akan lanjutkan pula dengan hadis ke-5. Dan itu hadis Abu Hurairah kita panjangkan kemarin tentang biografi Abu Hurairah karena beliau banyak meriwayatkan. Dan ini hadis yang keempat dan kelima bahkan yang setelahnya juga masih ada riwayat Abu Hurairah.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنَ النَّوْمِ، فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَاءِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ لِيَسْتَنْثِرْ” (Apabila salah seorang dari kalian mulai berwudu), jadi ذَاتَ الْوَقْتِ (pada saat itu) artinya mulai memasukkan ke hidungnya air, “ثُمَّ لِيَسْتَنْثِرْ” (kemudian dia mengeluarkan air). Itu artinya setelah اِسْتِنْشَاق (istinsyaq) dia اِسْتِنْثَار (istintsar) karena itu artinya adalah mengeluarkan air. Kalau orang diperintahkan untuk mengeluarkan air berarti dia sudah menghirup sebelumnya.
Maka ulama mengatakan, “Kalau ada perintah untuk اِسْتِنْثَار berarti otomatis dia diperintahkan untuk اِسْتِنْشَاق.” Tapi tidak sebaliknya. Kalau belum tentu dia اِسْتِنْشَاق bagaimana? Ditelan mungkin ya, ditelan mungkin itu diapa-apa ya. Bahkan para ulama menjelaskan tentang wudu, ketika seorang berwudu dikumur-kumur itu air maka boleh dia telan air itu tidak apa-apa ya, tapi kalau banyak kotorannya ditelan ya tidak apa-apa juga karena kotorannya juga kotoran dia sendiri tidak berbahaya إِنْ شَاءَ اللَّهُ kecuali kalau airnya beda ya.
Jadi di sini dikatakan ثُمَّ لِيَسْتَنْثِرْ. Dalam riwayatnya dikatakan Hajar ada riwayatnya dalam riwayat Imam Malik dan hadis ini disebutkan oleh Imam Bukhari dari jalur Imam Malik sehingga dua riwayat yang berbeda antara dua-duanya ada dan dua-duanya صحيح (sahih).
Kemudian disebutkan, “وَمَنِ اسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ” (barangsiapa yang ingin bersuci membersihkan bekas dari kotorannya dengan menggunakan batu, hendaklah dia menjumlahkan ganjil). “إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ، فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَا يَدْرِي أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ” (Apabila salah seorang dari kalian bangun dari tidur, beliau dahulu hendaklah dia mencuci tangannya tiga kali sebelum memasukannya ke dalam wadah atau bejana tiga kali). “Seorang di antara kalian tidak tahu di mana tangannya bermalam atau menginap.”
Hadis ini seperti kita sampaikan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Dan dalam riwayat ini ada banyak faedah yang disebutkan kepada Anda bahwa kalau itu artinya setelah Mekkah ditaklukkan, maka tidak ada manfaatnya orang-orang yang di Mekah untuk hijrah ke Kota Madinah karena dua-duanya sudah menjadi tempat atau negeri Islam. Akan tetapi mengatakan, “Tidak perlu seorang hijrah untuk mencari buku lain kalau dia sudah membaca buku فَتْحُ الْبَارِي (Fathul Bari) karena فَتْحُ الْبَارِي banyak menyebutkan berbagai pelajaran yang mungkin kita susah untuk mendapatkan di buku lain.” Ditambah selain beliau ahli hadis, beliau banyak meriwayatkan dari referensi yang hilang. Jadi riwayat-riwayat yang hilang maka beliau ambil di situ, ambil di situ. Itu menunjukkan bahwa buku itu aslinya ada tapi tidak sampai ke kita. Hajar punya buku itu. Ini keistimewaan yang jarang didapatkan pada saat kita memiliki buku ternyata buku itu kurang dan kita dapatkan di buku yang lain.
Maka Anda coba ketika Anda belajar kemudian membaca buku مُخَرَّجَات (mukharrajat), tahu-tahu naskah yang Anda punya beda dengan buku yang lain. Ketika seperti itu, itu wajar karena buku itu bisa jadi ditulis berkali-kali. Siapa penulisnya? Di tahun berapa? Semakin dekat dengan penulis apalagi kalau buku itu ditulis oleh sang penulis, itu akan lebih istimewa lagi untuk disalin. Dan mereka para ahli hadis terbiasa untuk setelah menyalin mencocokkan dengan buku gurunya namanya مُقَابَلَة (muqabalah). Dan mereka kasih apa namanya tanda bulatan begini di setiap beberapa paragraf dikasih bulatan nanti kalau mereka sudah cocokkan dengan buku gurunya mereka titik-titik. Maka semakin dekat tulisan itu kepada tulisan gurunya akan semakin orisinil. Kemudian ketika semakin jauh apalagi penulisnya bukan طَالِبُ الْعِلْمِ (tholibul ilmi), maka sangat mungkin kesalahan dalam penulisan terjadi. Nah, طَيِّبٌ, sekarang naskah yang dekat dengan penulis hilang mungkin karena peperangan yang ada dengan orang-orang Tartar dengan Mongol dan sebagainya. Akhirnya buku-buku itu hilang. Akan tetapi ada tulisan ulama yang menukil dari naskah itu dan seringkali نُسْخَة (nushah) yang dimiliki oleh seorang Alim misalkan atau hilang. Tapi beliau mungkin dalam maka ini adalah nilai tambahan. Nah, beliau ini banyak menuliskan berbagai tambahan-tambahan dari jalur-jalur yang berbeda.
Hikmah di Balik Perintah Membersihkan Tangan Setelah Tidur
Kemudian إِخْوَة sekalian, hadis ini menunjukkan tentang perintah untuk seseorang selalu bersikap bersih entah dalam segi fisik maupun dalam hal yang sifatnya maknawi. Maka ketika hadis ini disebutkan kemudian di lafaz berikutnya, “Kalau bangun dari tidur, hendaklah kalian cuci dulu tangannya sebelum dimasukkan ke dalam wadah karena dia tidak tahu tangannya lari-lari ke mana.” Alasan kenapa diperintahkan karena dia sedang atau sudah bersinggungan dengan setan. Bersumber dengan setan bukan ini tapi yang sebelumnya. Tidak tawakal apabila dia bangun dari tidur hendaklah dia beristinja. Dalam riwayat disebutkan, “Hinggap di sini karena setan habis bermalam di hidung seorang.” Al-Qadhi رَحِمَهُ ٱللَّهُ beliau katakan bahwa hinggapnya setan di hidung seseorang di bagian dalam ini merupakan bermalam Hakiki. Sebagian ulama mengatakan, “Oh itu bukan Hakiki tapi itu kiasan, bagaimana dekatnya setan dengan kita untuk ganggu.” Tapi kata Al-Qadhi, “Bisa jadi itu bermalam beneran karena jangankan bermalam di tempat bolongan-bolongan yang dia tutupnya ini sebelum tidur. Kalau mau dipendem mau dimakan baru ditutup. Maka mungkin setan masuk ke dalam peredaran darah.” “Dan aku khawatir akan membersihkan atau membisikkan kepada kalian persangkaan-persangkaan yang kotor.” Dan ini disebutkan oleh tempat terbukanya manusia adalah hidung maupun telinga. Maka ketika bagian yang tertutup pun akan terbuka.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم perintahkan kita untuk menutup di antaranya mulut ketika kita sedang menguap. Rasulullah صلى الله عليه وسلم katakan, “إِذَا تَثَاوَبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَكْظِمْ مَا اسْتَطَاعَ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ” (apabila kalian menguap, hendaklah dia menahan sebisa mungkin karena setan akan masuk). Bahkan dalam beberapa riwayat dikatakan, “Setan tertawa-tawa melihat ada orang menguap sampai keluar suaranya.” Maka ini menunjukkan adab para orang-orang beriman, mereka adalah orang-orang yang berlevel tinggi. Hendaklah dia terapkan hadis, dia akan terhormat. Kalau seandainya yang tertutup ketika akan terbuka diperintahkan untuk ditutup atau ditahan sekuat mungkin, bagaimana terbuka? Maka ketika seseorang habis kemasukan lalu dia pakai air wudu, maka ini bisa membersihkan. Islam menegaskan bahwa ini karena ada ulama satu setan, karena ada masuknya setan ini secara maknawi. Akan tetapi para ulama lain mengatakan tujuannya bukan maknawi, akan tetapi justru bisa dipahami dari sisi fisik karena ada yang lain seperti itu.
Kemudian dalam hadis ini disebutkan bahwa arti dari لِيَسْتَنْثِرْ artinya adalah untuk beristighfar, mengeluarkan air dari hidung. Hajar menyebutkan asal dari اِنْتِثَار atau اِسْتِنْثَار itu artinya adalah menggerakkan gerakan kayak gini kita masukin air kemudian kita gerak-gerakkan itu namanya نَثْرَة (nusrah), menggerakkan ini. Maka اِسْتِنْثَار itu menggerakkan untuk membersihkan Ini dari kata-kata itu. Kemudian disebutkan di sini perintah ini dipahami oleh جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ (jumhurul ulama) sebagai ibadah yang sunah, sementara sebagian ulama memahami ini wajib.
Hukum Memasukkan Tangan ke Bejana dan Air Musta’mal
Kemudian dalam hadis ini juga ada penggabungan. Beliau menyebutkan, “إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَليَجْعَلْ فِي أَنْفِهِ مَاءً ثُمَّ لِيَسْتَنْثِرْ” (barang siapa di antara kalian ingin untuk hendaklah dia memasukkan air ke dalam hidungnya kemudian dia keluarkan lagi). Ini sebenarnya satu hadis. “إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ، فَلَا يَغْمِسْ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ حَتَّى يَغْسِلَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ” (Apabila salah seorang di antara kalian bangun dari tidur, maka hendaklah dia mencuci tangannya). Ini hadis lain, betul صحيح البخاري dan Muslim. Dua-duanya ada riwayatnya dalam صحيح البخاري dan Muslim, dan sahih tidak ada masalah. Akan tetapi pelajaran yang disebutkan ini hadis yang berbeda diantaranya karena Al-Imam Bukhari meriwayatkan dari Imam Malik. Maka disebutkan di dalam kitab الْمُوَطَّأ dengan berbagai riwayatnya. Ada riwayat Yahya Ibnu Khair, kemudian ada riwayat lain dalam kitab الْمُوَطَّأ semua membedakan riwayat ini hadis berbeda. Kemudian dalam riwayat yang lain ada hadis yang tadi ya, tidak ada riwayat Muslim sengaja dibedakan yang satu dari Ibnu [nama perawi] yang satu dari Mughirah. Dua-duanya memiliki hadis berbeda.
Kata Hafiz Ibnu Hajar, “Bisa jadi Al-Imam Al-Bukhari memiliki prinsip menggabungkan dua hadis yang berbeda selama sanadnya sama tidak apa-apa.” Ini adalah metode Imam Bukhari. Dan ini yang diambil kesimpulan oleh Ibnu Hajar. Beliau berusaha untuk mencerna cara Imam Bukhari dalam menyusun hadisnya dan itu susah. صحيح البخاري ini adalah buta untuk umat ini agar dijelaskan. Selama belum dijelaskan maka صحيح البخاري karena urutannya lompat, kemudian nanti sudah takut sudah pernah disampaikan. Dan Imam Bukhari ketika ada hadis yang panjang, beliau akan potong-potong. Kita pernah pelajari itu metode Imam Bukhari menyebutkan hadis, beliau akan potong-potong. Dan ketika beliau disebutkan di sini di sini di sini nanti akan ada tambahan baru yang di sana diriwayatkan dari jalur berbeda yang di sini dari jalur berbeda, di sini jauh berbeda, selalu ada tambahan hadisnya. Jadi susah kalau tidak terbiasa untuk mempelajari selain Bukhari.
Ibnu Hajar beliau mempelajari صحيح البخاري bertahun-tahun sehingga beliau tuliskan فَتْحُ الْبَارِي dengan waktu yang lama sekali dan berkali-kali dipelajari dievaluasi. Maka kata sebagian ulama, “Seandainya Ibnu Khaldun masih hidup setelah فَتْحُ الْبَارِي ditulis, maka beliau akan tahu betapa hutang itu telah dibayar oleh Ibnu Hajar رَحِمَهُ ٱللَّهُ.” Nah di sini beliau menyebutkan Imam Muslim saja menyebutkan dua riwayat yang berbeda. Riwayat yang satu dari riwayat yang lain dengan dua hadis tapi dua-duanya صحيح tidak ada masalah. Dan seperti disimpulkan oleh Ibnu Hajar, “Bisa jadi Imam Bukhari beliau menganggap tidak apa-apa menggabungkan dua hadis yang berbeda sebagaimana Beliau juga menganggap tidak apa-apa hadis yang satu dipotong-potong dalam menyebutkan. Kadang diulang untuk menunjukkan bahwa hadis ini menunjukkan tentang fikih seperti ini juga menunjukkan fikih yang seperti ini.”
Kemudian dalam hadis ini juga disebutkan tentang apa namanya memasukkan tangan ke dalam bejana. Dan para ulama seperti kita sebutkan tadi, perintah untuk mencuci tangan sebelum dimasukkan ke dalam bejana mereka خِلَافُ (khilaf) pendapat dan jumhur menyatakan bahwa hukumnya adalah sunah. Sementara pendapat sebagian ulama menyatakan bahwa itu wajib. طَيِّبٌ, kemudian sebagian ulama mengatakan, “Kenapa kok bisa dikatakan sunah? Padahal bukankah perintah itu menunjukkan kewajiban?” اَلْأَمْرُ بِالْقِيَاسِ (al-amru bil qiyas) yang menjadikan itu tidak wajib sehingga menjadi sunah karena alasan untuk diperintahkannya itu tidak jelas atau memberikan kemungkinan dia bermalam. Kalau seandainya dia tahu kan dia tinggal mengatakan bahwa tangan itu najis. Tapi ketika dia katakan karena dia tidak tahu kemungkinan tangannya terletak pada tempat yang najis. Kemungkinan tidak.
Seandainya ada orang yang dia sengaja meletakkan di tangannya penutup penutup kain maupun apa di tangannya kemudian dia ikat tangannya. Lalu ketika dia bangun tangannya tidak berubah masih rapih dalam kondisi ikatan dan kain yang dia bikin, maka tidak ada keraguan dan dia tidak wajib untuk apa namanya mencuci tangan itu. Ini untuk pendapat ulama yang mengatakan perintah ini ada alasannya. Sebagian ulama seperti Malikiyah, mereka mengatakan perintah ini tidak ber, tidak mengandung alasan akan tetapi murni perintah Allah laksanakan alias تَعَبُّدِي (ta’abudi). Contohnya seperti apa? Seperti ketika kita diperintahkan untuk mencuci bejana yang dijilat oleh anjing. Kenapa harus 7 kali? Kenapa harus ditambah dengan tanah? Kalau yang lain tiga kali selesai. Kalau ada najis kok menclok atau ada di tempat yang kita punya, maka tinggal dicuci sampai najisnya hilang setidaknya 3 kali seperti dalam hadis ini. Tapi kenapa kok ada kasus air liur anjing harus 7 kali dan harus ada تُرَاب-nya (debu)? Maka Malikiyah mengatakan ini perintah maknanya adalah تَعَبُّدِي, perintah yang murni ibadah tanpa dipikir-pikir. Kenapa demikian? Yang penting kamu kerjakan saja. Sementara jumhur ulama tidak seperti itu. Jumhur ulama mengatakan karena itu najis, hanya najisnya liur anjing kerasnya memang tidak bisa disamakan dengan yang lain. Intinya ini juga sama dalam hal yang kita bahas tentang perintah untuk mencuci tangan. Kata Imam Malik رَحِمَهُ ٱللَّهُ, “Itu sudah jangan dibahas lagi ada alasannya. Kalau alasan itu tidak ada berarti perintah itu juga tidak berlaku.”
Maka seperti tadi ketika ada orang tidur kemudian dia letakkan tangannya di tempat yang bersih ditutup. Kemudian ketika dia bangun dia masih dalam kondisi yang sama, maka itu tidak mengapa dia tidak wajib untuk mencuci. Akan tetapi ini tidak boleh dijadikan hinaan. Sebagian orang sengaja dia menghina sunah, menghina syariat Nabi صلى الله عليه وسلم sehingga dia mengatakan, “Untuk apa perintah kayak gini? Enggak butuh sama sekali. Tidur saja bangun-bangun suruh cuci-cuci. Aku tahu di mana tempat tanganku menginap. Masa nginap saja enggak ngerti?” Akhirnya ini disebut oleh Al-Imam An-Nawawi. Sebagian kelas Anda sebutkan tadi pagi atau beberapa waktu sebelumnya disebut oleh Ibnu Katsir dalam bidang النِّهَايَة (an-nihayah). Tapi yang benar disebutkan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab بُسْتَانُ الْعَارِفِينَ ya, ada orang yang dia mengejek hadis ini lalu dia sengaja mengatakan, “Aku tahu di mana tempat tanganku bermalam atau ditempatkan.” Akhirnya dia ambil tangan kemudian diikat kemudian dia terikat tangannya di tempat tertentu entah dengan kakinya atau dengan tempat tertentu dia hanya menunjukkan bahwa hadis itu tidak ada manfaatnya. “Aku tahu di mana tempat tanganku tidur semalam.” Dan سُبْحَانَ اللَّهِ ketika dia bangun tidur terlepas kemudian tangannya masuk ke duburnya sepanjang 1 bagaimana bentuknya enggak ngerti yang penting disebutkan seperti itu. Kata Imam Allah, “Ini untuk ganjaran orang yang berani menangkal sunah.”
Di zaman Nabi صلى الله عليه وسلم ketika ada orang diperintahkan Nabi صلى الله عليه وسلم tidak bisa karena dia hanya ditahan oleh kesombongannya untuk menerima nasihat. Sebagian orang itu dia tahu kalau itu benar nasihatnya bagus akan tetapi dia sombong, gengsi untuk menerima dari orang yang sama dengan dia apalagi lebih rendah dari dia, “Kau masih kecil main-main nasihat aja.” Akhirnya kesombongannya yang menolak seperti itu. Akhirnya orang itu enggak bisa sama sekali untuk makan menggunakan tangan kanannya, jadi cacat dia. Bahkan tadi saya sebutkan dalam bidang hewan kasus yang serupa ketika ada orang yang mencela siwak. “Siwak untuk apa?” Dia jadi sengaja untuk mencela sunah Nabi صلى الله عليه وسلم. Dia pakai siwak itu hidup. Maka Allah عَزَّ وَجَلَّ Jadikan Dia sakit setelah itu sakitnya selama 9 bulan seperti orang yang hamil laki ini sampai 9 bulan hamil. Setelah 9 bulan dia lahirkan itu yang ada di perutnya dan keluarnya seperti kepala ikan kemudian badannya seperti tikus. Anaknya ketakutan melihat itu langsung dipukul mati tapi setelah itu bapaknya yang mati. Beberapa hadis setelahnya menunjukkan bahwa orang-orang yang mengingkari sunah mereka jangan bermain-main dengan seperti itu dianggap mereka biasa.
Ini pernah disampaikan oleh dalam kitab beliau ketika beliau menukil pernyataan Abu Bakar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Abu Bakar mengatakan, “كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ فَإِنْ تَرَكْتُهُ ضَلَلْتُ” (Aku tidak pernah meninggalkan satu sunah yang ditinggalkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم, aku pasti akan kerjakan. Aku khawatir juga aku tinggalkan aku akan sesat satu sunah Nabi صلى الله عليه وسلم). “Jangan dibilang cuma sunah ya, cuma sunah.” Nanti kalau ada larangan, “Cuma makruh.” “Makruh dibilang cuma sunah, dibilang cuma.” Kata Abu Bakar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, “Aku khawatir tinggalkan sunah ini aku akan tersesat.” Kata Ibnu Batthah dalam kitab الْإِبَانَة dia katakan, “Coba lihat Abu Bakar As-Siddiqul Akbar, dia tidak berani menyelisihi sunah Nabi صلى الله عليه وسلم sekalipun satu saja. Bagaimana seandainya beliau melihat di kondisi di zaman kita orang-orang terang-terangan meninggalkan sunah, mencela bahkan mengkhianati sunah di depan orang terang-terangan seperti mencela orang yang mempraktekkan itu di zaman beliau?” Beliau meninggal tahun 387 Hijriah. Bagaimana zaman kita sekarang? Sunah menjadi asing. Orang ketika menerapkan sunah diolok-olok bahkan ada orang yang ingin mengintimidasi orang yang menerapkan sunah tidak malu-malu dan tanggung-tanggung mereka juga pengen di labelin أَهْلُ السُّنَّةِ tapi dia tidak suka dengan orang yang menerapkan.
Hadis ini juga menunjukkan tentang perintah untuk mencuci tangan setelah dia bangun dari tidur. Para ulama, “Tidur apa? Tidur malam atau tidur siang atau mungkin ketiduran di pengajian?” Mana yang diperintahkan? Para ulama mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah tidur malam. Kalau Syafi’iyah mereka katakan tidak ada bedanya tidur malam dan tidur siang. Akan tetapi وَاللَّهُ أَعْلَمُ (dan Allah Maha Mengetahui) hukum asalnya dalam riwayat ini disebutkan adalah tidur malam. Kenapa? Karena ada beberapa tanda di antaranya karena tangannya nginep, nginep itu malam hari. Dan dalam bahasa Arab اَلْبَيْتُوتَة (al-baytūtah) atau menginap itu adalah menyelesaikan satu malam. Entah mau tidur apa tidak, yang penting dia bermalam. Maka korelasinya dengan hadis yang dibahas berarti berkaitan dengan perintah untuk setelah orang bangun tidur malam. Bukan hanya itu, Al-Hafiz Ibnu Hajar menyebutkan berbagai riwayat yang banyak tentang maksud dari hadis ini adalah tidur malam. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud. Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyatakan, “إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ اللَّيْلِ” (Apabila kalian bangun dari tidur malam). Kemudian dalam riwayat yang lain dikatakan, “إِذَا أَرَدْتُمْ أَنْ تَتَوَضَّئُوا عِنْدَ الصَّبَاحِ” (Apabila kalian ingin melaksanakan wudu ketika pagi hari), berarti setelah bangun dari tidur malam. Dari riwayat-riwayat yang tadi disebutkan bahwa kesimpulannya tidur yang dimaksudkan dalam hadis ini adalah tidur malam. Akan tetapi kata Hafiz Ibnu Hajar, “Tidak apa-apa tidur siang pun dikiaskan karena alasannya juga bisa jadi ada alasannya.”
Bisa jadi pada Al-Imam Syafi’i رَحِمَهُ ٱللَّهُ beliau menyebutkan bahwa perintah itu berkaitan dengan orang-orang yang memang bisa jadi tangannya kena najis. Contohnya beliau katakan di zaman itu mereka tinggal di negeri yang panas sehingga jarang air. Ketika mereka tidur setelah mereka melakukan اِسْتِجْمَار (istijmar) artinya bersuci dengan menggunakan batu, bisa jadi ada bekasnya lalu dia tidur. Ketika orang tidur maka dia akan mengeluarkan ringan tadi sudah kering aman. Tapi ketika dia tidur kemudian berkeringat maka tempat yang tadi najis ada sisanya kesentuh tangan maka akan kembali terkena najis lagi. Terlebih di zaman itu baju orang tidak seperti zaman sekarang. Zaman sekarang مَا شَاءَ اللَّهُ sampai celana pun ada Gemboknya. سُبْحَانَ اللَّهِ itu kurang kerjaan tapi memang orang zaman sekarang banyak yang kurang dicari pekerjaannya. Jadi mereka sampai bikin seperti itu. Tapi maksudnya ada kemungkinan orang yang tidur dia tidak sadar bahwa tangannya terkena najisnya sendiri atau najis yang lain. Maka ketika dikhawatirkan seperti itu tidur malam lebih panjang, kemungkinannya lebih besar. Tidur siang pun bisa seperti itu kalau alasannya ada.
Kemudian beliau katakan juga kalau seandainya orang tidur diperintahkan untuk itu karena alasannya bisa jadi tangannya hinggap di tempat najis, maka orang yang tidak tidur kalau seandainya dia justru tahu, “Oh iya tadi habis megang najis,” maka perintahnya lebih tegas lagi. Zaman sekarang ada orang kepo tingkat tinggi, maksudnya kepo bagaimana dia duduk kemudian di sebelahnya ada tahi ayam tangannya kena tahi ayam. Sudah tahu ini tahi ayam. Apa yang dilakukan? Ini Anda pengalaman semua jadi sudah tahu itu. Kadang kalau dia tidak dapat air dia biarkan. Dan itu sebenarnya memang tahi ayam suci karena ayam dimakan dagingnya boleh dimakan halal sehingga kotorannya suci. Tapi kan adalah kotoran kucing. Kucing najis bau. Tapi dia tidak dapat air, maka dia tunggu dulu sampai dapat air kering, lupa dia. Baik. Baru dia mau salat, waktunya mau wudu dia bilang, “Oh iya tadi saya menyentuh najis.” Maka perintah itu agak, perintah itu lebih wajib lagi. Karena kalau orang tidur dikhawatirkan tangannya terkena kotoran seperti itu, maka orang yang tidak tidur tapi dia yakin tadi habis megang najis lebih diperintahkan seperti itu. Adzan dulu saja. [Musik] [Musik] [Tertawa] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Tertawa] [Musik] [Musik]
Hukum Air dan Cara Membersihkan Najis
طَيِّبٌ kita lanjutkan. Tadi kita sebutkan bahwa perintahnya memang untuk orang yang tidur dan itu tidurnya di malam hari itu hukum asalnya. Akan tetapi seandainya tidur siang memiliki alasan yang sama maka sudah pantas apabila dikiaskan. Kemudian orang yang tidak tidur pun kalau seandainya dia yakin telah menyentuh najis maka dia juga diperintahkan untuk mencuci. Tapi kalau tidak menyentuh najis bagaimana? Kalau tidak menyentuh najis maka para ulama mengatakan perintahnya bersikap اِسْتِغْفَار (istigfar). Perintahnya bersikap untuk orang yang tidak tidur. Kalau orang yang tidak tidur kemudian dia telah menyentuh najis maka wajib untuk mencuci. Kemudian orang yang tidak tidur dan dia apa namanya tidak habis menyentuh najis maka diperintahkan tetap untuk mencuci karena ada hadis lain. Karena hadis lain yang menunjukkan ketika ada yang ingin berwudu Rasul صلى الله عليه وسلم selalu mencuci terlebih dahulu tangannya sebelum mulai memasukkan ke dalam apa namanya bejananya. Di antaranya adalah hadis Umran dari Utsman رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah berdoa seperti itu dicontohkan. Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah memerintahkan untuk didatangkan atau diambilkan air kemudian berwudu dengan tiga kali cuci tangan sebelum memulai aktivitas untuk kita.
Hadis ini juga memiliki tambahan pada saat dalam riwayat Muslim. Dalam riwayat Bukhari dikatakan, “لَا يُدْخِلْ يَدَهُ” (memasukkan tangannya). Tapi dalam riwayat Muslim, “لَا يُغْمِسْ يَدَهُ” (jangan dia masukkan/tenggelamkan tangannya semuanya ke dalam air). Nah kata apa namanya saling mewakili akan tetapi beliau katakan lafaz لَا يُغْمِسْ atau memasukkan tangan ke dalam air itu lebih kuat penekanannya. Kenapa? Karena sekadar memasukkan kalau kita katakan misalkan larangan tadi itu berarti bukan berarti haram. Perintahnya menurut pendapat jumhur adalah sunah tidak sampai wajib kecuali pendapat Imam Ahmad. Imam Ahmad mengatakan perintah untuk mencuci tangan setelah bangun tidur malam adalah wajib kata beliau untuk bangun tidur malam saja. Tapi kalau tidur siang dalam riwayat Imam Ahmad dikatakan sunah juga seperti jumhur. Berarti kalau seandainya tangan itu masuk ke dalam bejana apakah itu hukumnya makruh? Tapi makruh itu kalau seandainya dia celupkan tangannya sampai ke semuanya masuk, maksudnya semuanya adalah كَفّ (kaf) ini tangan, telapak tangan ini. Kalau misalnya dimasukkan semuanya maka ini menjadi makruh. Tapi kalau memasukkan tangan untuk mengambil عِبْوَق (aibwaq) apa itu gayung, masukkan tangan untuk mengambil gayung sebagian tangannya kena air ini namanya dalam bahasa Arab إِدْغَام (idgham) sudah memasukkan tapi tidak menyebabkan. Nah maka menggunakan lafaz itu lebih kuat daripada sekedar menggunakan إِدْغَام katakan seperti itu. Ini Ibnu Hajar meskipun seperti kita sebutkan tadi masing-masing dari dua lafaz itu saling mewakili dan menafsirkan.
Kemudian pembahasan berikutnya, “Apakah air itu menjadi najis kalau seandainya tangan yang kita masukkan belum kita cuci?” Nah, sebelumnya kita sebutkan bahwa perintah itu sifatnya adalah sunah menurut pendapat jumhur dan وَاللَّهُ أَعْلَمُ itu adalah yang dekat. Akan tetapi hendaklah setiap muslim tidak terlalu perhatikan ini sunah atau wajib yang penting Rasul صلى الله عليه وسلم perintahkan itu kita kerjakan. Karena para sahabat seperti itu mereka ketika ada perintah dari Nabi صلى الله عليه وسلم mereka tidak banding-bandingkan dulu, “Yang Anda perintahkan ini wajib atau sunah ya Rasulullah?” Seperti itu mereka kerjakan. Termasuk ketika mereka melihat Nabi صلى الله عليه وسلم mengerjakan, mereka langsung ikuti. Padahal menurut penjelasan dalam ilmu أُصُولُ الْفِقْهِ (usul fiqih) sebagian ulama mengatakan sekadar perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم tidak menunjukkan wajib akan tetapi Rasulullah صلى الله عليه وسلم seperti ini mengerjakan ini berarti itu istighfar mereka katakan itu. Kecuali kalau seandainya yang dikerjakan Nabi صلى الله عليه وسلم beliau tampilkan sebagai tafsiran ayat yang menunjukkan kewajiban maka perbuatan itu menunjukkan kewajiban.
Mereka mengatakan seperti itu, hukum asalnya kalau ada perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم maka mereka tidak katakan perbuatan itu langsung wajib kecuali kalau perbuatan itu sedang menafsiri perintah di dalam Al-Qur’an yang memang wajib hukumnya. Kerjakan salat maka perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم salat menjadi wajib karena sedang menafsiri perintah yang wajib dalam Al-Qur’an. Sekalipun demikian para ulama salaf tidak membedakan wajib sunah wajib sunah. Rasul صلى الله عليه وسلم kerjakan mereka kerjakan seperti itu. Maka seorang muslim ketika dia mengkaji hadis ini dia kerjakan dan dibiasakan. Bangun tidur biasakan cuci tangan bukan hanya mau makan saja apalagi mau tidur cuci kaki dulu. Kelamaan mau tidur mencuci kaki yaitu biasanya pendidikannya orang-orang yang mungkin bersih sekali itu kasurnya. Kalau kita إِنْ شَاءَ اللَّهُ enggak papa. Tapi maksudnya kalau seandainya kita disiplin bangun tidur kita cuci tangan makanya sesuai dengan sunah إِنْ شَاءَ اللَّهُ kita dapat pahala. Kemudian kalau seandainya tangan itu masuk ke dalam bejana apakah itu akan merubah hukum air yang ada di dalamnya? Sebagian ulama mengatakan ini najis tapi itu sedikit sekali pendapat itu dari sebagian ulama saja. Sedangkan jumhur bahkan dikatakan mereka sepakat kalau tangan itu masuk ke dalam bejana maka airnya tetap suci.
Sebagian ulama mengatakan kalau air yang sedikit dimasuki tangan yang belum dicuci maka air itu masih suci tapi tidak bisa lagi mensucikan. Sebagian ulama mengatakan demikian tapi وَاللَّهُ أَعْلَمُ pendapat yang رَاجِح (rajih) adalah tetap suci dan mensucikan. Karena Allah تَعَالَىٰ pembagian air yang juga رَاجِح adalah pembagian menjadi dua saja yaitu air yang suci dan bisa mensucikan dan air najis. Kalau ada suci tidak mensucikan itu bagaimana? Susah kita menafsirkan air teh. Air teh itu bukan air. Orang bilang, “Anda punya air?” “Oh ada ini dikasih coca-cola.” Enggak benar itu kayak gitu. Dia bilang, “Saya enggak punya air tapi punyanya coca-cola.” Kayak gitu bilangnya. Maka para ulama mengatakan selain air yang masih jernih lalu mereka tidak akan sebutkan kecuali disebutkan sifatnya. “Oh ada air tapi air teh gitu.” “Kalau air kamu punya air punya.” Maka hukum asalnya dia kalau suci mensucikan. Dengan demikian ketika kita punya air dimasukin tangan dengan apa namanya kondisi belum dicuci maka tidak akan mempengaruhi apalagi seperti kita sudah sebutkan tadi jumhur mengatakan bahwa hukum perintah ini adalah sunah.
Termasuk apa namanya hukum asalnya perintah itu berkaitan dengan kalau tangan akan dimasukkan. Kalau tidak dimasukkan bagaimana? Atau yang dimaksudkan yang sudah dicuci bangun tidur perlu اِسْتِنْجَاء (istinja). Bangun tidur dulu اِسْتِنْجَاء maka yang digunakan adalah tangan kiri otomatis tangan kiri sampai dicuci dicuci tiga kali. Maka ketika dia sudah dicuci tangan kanannya belum maka tangan kirinya masuk pun boleh tidak apa-apa karena dia sudah dicuci. Atau orang berwudu tanpa menggunakan إِنَاء (ina) tapi menggunakan air yang dikelocorkan maka hukum itu hukum asalnya tidak wajib untuk apa mencuci tangan sebelumnya yang masuk yang kita maksudkan dalam pembahasan kita tapi tetap sunahnya seorang ketika akan berwudu tetap mencuci tangan.
Cara Membersihkan Najis dan Hikmahnya
Kemudian di dalam riwayat ini disebutkan فِي الْإِنَاءِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ (di dalam bejana tiga kali). Kenapa disebutkan atau alias wadah ya kan? Dikatakan dalam riwayat Bukhari إِنَاء dalam riwayat yang lain disebutkan tempat untuk berwudu. Kata Al-Hafiz disebutkan إِنَاء berarti yang tidak إِنَاء tidak perlu cuci tangan. Contohnya apa? Kalau dia mau wudu di kolam renang. Kolam renang isinya banyak sekali, isinya isi airnya banyak sekali ada yang keluar ada yang masuk sehingga dia tidak memiliki tekanan untuk apa namanya mencuci tangannya sebelum dimasukkan ke dalam tempat seperti ini atau di sungai atau di sungai. Sebagian orang mau wudu saja pergi ke sumber, mau mandi ke sumber, mau apa namanya cuci juga ke sana lagi. Yang seperti ini tidak mengapa kalau seandainya dia tidak cuci tangannya terlebih dahulu.
Terakhir hadis ini juga menunjukkan tentang perintah untuk selalu mengganjilkan minimal tiga kali dalam mencuci najis apabila najis itu bukan najis yang disifati harus memiliki hitungan 7 kali. Karena perintah untuk menghilangkan najis ini para ulama mengatakan ditekankan sekali dan minimal adalah عَيْنُ النَّجَاسَة (ainun najasah)nya hilang. Bentuk najis yang ada pada pakaian maupun barang harus hilang dulu. Maka lebih sakit ditekankan dengan dicuci 3. Sudah sebelum tiga kali hilang, maka tiga kali lebih mantap lagi. Tapi kalau ternyata tiga kali masih ada kotorannya maka ditambah lagi seperti itu. Termasuk di dalam hadis ini disebutkan اِسْتِجْمَار menggunakan apa namanya batu. Orang yang ingin bersuci ketika tidak mendapatkan air maka dianjurkan dia untuk menggunakan batu. طَيِّبٌ batu pun dipilih 3, dipilih tiga kali. Kalau seandainya batunya kurang dari 3 maka dia sabar cari dulu.
Pernah ada dalam hadis tersebut akan buang air kemudian masuk suruh cari. “Aku sudah dapat dua batu tinggal yang satu aku tidak dapat.” Akhirnya aku bawa kotoran hewan. Kotoran hewan yang diambil cuman dua batunya kemudian kotoran itu dibuang katanya ini adalah yang tidak pas untuk bersuci. Dalam riwayat lain disebutkan karena riwayat itu ada kelemahannya dikatakan, “Karena itu adalah apa namanya makanan saudara kalian dari bangsa jin yaitu tulang maupun kotoran hewan.” Maka dianjurkan di sini untuk mengganjilkan minimal tiga kali ketika ada orang ini اِسْتِنْجَاء atau اِسْتِجْمَار bersuci entah menggunakan air maupun menggunakan. Mudah-mudahan bermanfaat dan ini yang kita bisa sampaikan malam hari ini. Selanjutnya إِنْ شَاءَ اللَّهُ pada pertemuan yang akan datang إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَىٰ.
Metode Belajar yang Efektif
Bagaimana metode apa ini yang efektif dan benar? Maksudnya تَأْصِيل (ta’shil) metodenya disebut oleh ketika orang ingin mempelajari ilmu apapun yang benar adalah cari caranya para ulama jangan mencari terobosan. Nanti terobos jebur sekalian. Jadi cari cara ulama diambil bagaimana mereka belajar, jangan terburu-buru kemudian jangan hanya sekedar ingin target pribadi tapi lihat para ulama bagaimana. Baik di antaranya yang beliau sampaikan adalah, “Cari مَتْن (matn) yang dikenal جَامِع (jami’) dalam mazhab atau dalam disiplin ilmu itu.” Contoh kita akan belajar hadis, maka yang akan kita cari yang kita hafalkan dulu apa? Para ulama terbiasa menghafalkan yang pendek-pendek dulu sebelum yang panjang. Maka mereka nasehatkan hafalkan أَرْبَعِينَ النَّوَوِيَّة (Arbain An-Nawawi). Agak semangat lagi selesai kemudian ingin yang lebih panjang bahkan agak lebih yang kemudian kuat selesai dari beliau. Tapi tiba-tiba ada mahasiswa ingin ngapalin صحيح البخاري, ya baru dapat 2 hadis 3 hadis pusing. Tinggalkan, dia sangka belajar itu susah. Bukan itu tapi karena apa namanya salah jalan. Kemudian di antaranya pula adalah mencari guru yang bisa mengarah. Ketika dia berinisiatif sendiri sering kali dia akan kesulitan buku apa yang dibaca di majelis apa kemudian pelajarannya apa. Seperti itu penting sudah itu intinya yang disampaikan dalam kitab تَعْلِيمُ الْمُتَعَلِّمِ (Ta’limul Muta’allim) sabar dalam menghafal dan menuntut ilmu agama.
Sedikit-sedikit ya sabar, disabarkan, cari kawan yang sabar, kemudian Anda jangan cepat bosan, minta pertolongan kepada Allah dan ingat bahwa perjalanan ini panjang. Kata Syuhri رَحِمَهُ ٱللَّهُ, “مَنْ رَامَ الْعِلْمَ جُمْلَةً ذَهَبَ عَنْهُ جُمْلَةً” (Barangsiapa yang pengen belajar langsung dapat banyak, nanti yang hilang lebih sedikit-sedikit yang penting selesai). إِنْ شَاءَ اللَّهُ tidak mengapa. Ada pernyataan dari salah seorang ulama ahli baca, ahli قِرَاءَات (qira’at). Dia membaca pada gurunya setiap hari satu ayat satu ayat. Mati duluan aku belum selesai setor satu ayat satu ayat tapi sama hasil itu sabar sampai aku diizinkan untuk nambah satu hari 5 ayat 5 satu hari cuma baca 5 hadis saja satu hari. Dan itu terus berlangsung sampai bertahun-tahun dan ini beliau sabarin. Maka emang perlu kesabaran seperti itu membaca, meneladani para ulama bagaimana kesabaran mereka membaca, mengulang, menghafal dan sebagainya. Baik membaca atau menghafal terutama menghafal juga perlu pembiasaan lebih baik sedikit tapi terus daripada banyak langsung merotol. Semangat sekali satu hari hafalin 2 halaman dari Al-Qur’an. Besoknya kesulitan مُرَاجَعَة berhenti satu minggu lagi berhentinya satu hari berhentinya satu minggu susah. Mending satu hari tiga baris akan tetapi terus sehingga hafalan itu akan terus kuat seperti itu.
Imam Syu’bah maksudnya adalah apa namanya ahli hadis yang dikenal dengan أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ. Dikenal pula beliau adalah orang yang keras dalam meriwayatkan dan menilai seorang perawi. Suatu saat beliau melihat رَأَيْتُ فُلَانًا (Aku melihat si fulan). Beliau mengatakan, “Satu saat aku akan mempelajari hadis dari seorang ternyata salatnya tidak benar maka aku tinggalkan hadisnya.” Bahkan karena kerasnya Beliau pernah suatu saat beliau melihat ada orang yang akan dijadikan calon gurunya belajar hadis ternyata dia naik keledai. Dia katakan, “Enggak pantas seorang ahli hadis menaiki keledai. Aku tidak jadi mengambil hadisnya.” Para ulama mengatakan ini adalah disiplin yang berlebihan karena Nabi صلى الله عليه وسلم saja naik keledai. Maksudnya ini adalah seorang ahli hadis yang tegas sekali dan disiplin dalam menerapkan ilmu hadis.
Tanya Jawab: Hukum Najis dan Pentingnya Sunah
Pertanyaan: Saya dengar kalau seandainya kitab Syu’bah tidak hilang maka dia akan lebih صحيح dari Imam Bukhari. Apakah najis kotoran yang sudah kering baik kotoran kucing atau kotoran lainnya?
Jawab: Ulama mengatakan نَجَاسَة itu ada عَيْن ada نَجَاسَة yang مُكَمَّى itu yang طَارِئ (najasa mukammi’ itu yang thari’). Ini disebutkan dalam kitab beliau أَحْكَامُ النَّجَاسَات (Ahkamun Najisat). Najis itu ada dua, yang satu adalah نَجَاسَة عَيْنِيَّة (najis ain) najis ain itu yang memang bentuk dia adalah najis seperti kotoran hewan, kotoran orang, kemudian khamar menurut pendapat yang mengatakan itu adalah najis fisik. Kemudian ada barang-barang najis lainnya. Ada najis مُكَمَّى (mukamma’) yaitu barang aslinya suci tapi kena najis. Maka barang suci yang kena najis tinggal dibersihkan dari najisnya. Tapi kalau yang asalnya najis enggak bisa disucikan yaitu misalkan kotoran orang. Kotoran orang mau disucikan gimana? Itu sudah najis. Anda mau cuci sampai bagaimana juga tetap. Maka kotoran kucing وَاللَّهُ أَعْلَمُ tetap dia najis sekalipun kering. Akan tetapi ketika bersentuhan dengan sesama yang benda kering dia tidak akan membuat najis itu berpindah maka aman. Tapi ketika kita keringatan kesenggol itu maka akan terkena najis.
Bagaimana ketika salat tersentuh kotoran cicak? Kotoran cicak hukum asalnya najis karena cicak diperintahkan untuk dibunuh. Jadi para ulama mengatakan ada kaidah setiap hewan yang tidak boleh di apa namanya tidak boleh dimakan dagingnya maka kotorannya najis. Kemudian di antara kaidah pula hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya itu apa yang diperintahkan untuk dibunuh atau dilarang untuk dibunuh. Maka apa dagingnya tidak boleh dimakan. Cicak termasuk hewan yang diperintahkan untuk dibunuh maka dia tidak boleh dimakan. Tidak boleh dimakan, kotorannya najis. Hanya para ulama mengatakan ini diberikan keringanan karena banyak sekali kotoran cicak di mana-mana kadang-kadang masih fresh lagi salat seperti itu. Karena banyaknya maka diberikan keringanan oleh para ulama.
Pertanyaan: Iya kenapa kita apa namanya diperintahkan sebelum salat sebelum tidur untuk berwudu padahal tidur pun membatalkan wudu?
Jawab: Karena perintahnya seperti itu. Bahkan ada riwayat yang menunjukkan para malaikat akan mendoakan orang yang tidur setelah berwudu. Kan dia akan batalkan wudu ya, tidak apa-apa. Anda juga makan akan lapar lagi. Maka tidak perlu dipikirkan yang seperti itu.
Pertanyaan: Bagaimana hukum mempelajari sebuah kitab namun penjelasannya dipelajari melalui playlist di YouTube?
Jawab: Kalau seandainya penjelasnya dalam faktor atau cuplikan itu bisa dipercaya, kemudian apa namanya penjelasannya jelas dan orang yang menjelaskan terpercaya dari sisi agamanya, إِنْ شَاءَ اللَّهُ tidak mengapa, tidak apa-apa. Tapi kalau seandainya tidak, bahaya-bahaya. Entah orangnya tidak diketahui kadar keilmuannya apalagi agamanya bisa membuat kita tersesat. Karena ada sebagian pencerah Kitab Tauhid dia punya pemikiran تَكْفِير (takfir). Kita bayangkan bagaimana kita akan belajar Kitab Tauhid sama orang-orang yang memiliki pemikiran seperti itu.
Pertanyaan: Kitab apa yang berkaitan dengan adab dan akhlak menurut menuntut ilmu yang di apa namanya di Apa Ini Yang sarapan untuk dipelajari ada yang dianjurkan untuk menuntut ilmu dalam belajarnya?
Jawab: Sudah Anda belajar dan sebagainya seperti Ibnu Jamaah. Kemudian ada pula kitab أَخْلَاقُ الرَّوَايَة (Akhlaqur Riwayah) apa namanya itu. اَلْجَامِعُ (al-Jami’) punya hadis-hadis pakai sanad, kadang Anda bisa bosan bacanya. Kemudian ada pula buku bagus جَامِعُ بَيَانِ الْعِلْمِ وَفَضْلِهِ (Jami’ Bayan al-Ilm wa Fadlihi) sama dua-duanya. اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ tahun 463 Hijriah bagus dua-duanya itu isinya hadis-hadis semua tentang adab dan akhlak. Kalau Anda pengen yang instan, bahasa gampang kemudian isinya nasihat, maka Anda baca kitab ini di antaranya Syekh Muhammad ya. كِتَابُ الْعِلْمِ (Kitabul ‘Ilm) itu bagus dibaca dengan mudah bahasanya gampang. Yang kedua saya sarankan ini bagus sekali bukunya judulnya مَعَالِمُ فِي طَرِيقِ طَلَبِ الْعِلْمِ (Ma’alim fi Tariqi Talabil Ilmi). Beliau adalah seorang peneliti yang memang ditugaskan oleh pemerintahan Arab Saudi untuk meneliti jadi tugasnya itu saja. Bukunya gamblang dan disertai dengan berbagai dalil serta contoh dari para ulama salaf yang sering saya sampaikan kepada Anda ini dari buku itu. Buku itu ketika disarankan saya baca sampai akhirnya saya bahas dalam pengajian sampai selesai dan itu luar biasa. Buku itu menukil dari para ulama salaf kemudian ada dalilnya ada contohnya dan sebagainya bahasanya. Mudah-mudahan bermanfaat dan kurang lebihnya mohon maaf.
صلى الله عليه وسلم.