Kajian Kitab Umdatul Ahkam – 13, Dr. Emha Hasan Ayatullah, M.A

👁️ 2 views   🕒 28 min read   🧑‍💻 2 users online

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ.

Keutamaan Menuntut Ilmu dan Persiapan Ramadan

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. Kita bersyukur sekali, اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ bertepatan dengan safarnya Ustazuna Abdullah, saya minta izin ke beliau dan juga ke P3M untuk melanjutkan pengajian kita karena memang kita mengejar SKS ya. Jadi mudah-mudahan betul-betul terkejar sebelum Ramadan hadis ini bisa selesai. Kalau tidak, kita perlu begadang ya. Sebelumnya إِخْوَة sekalian, kita tahu bahwasanya seorang yang ingin mendapatkan nilai yang maksimal perlu persiapan dan tidak ada ibadah yang lebih sempurna dan istimewa daripada seorang belajar. Maka Waqi’ رَحِمَهُ اللَّهُ beliau pernah mengatakan, “لَا يُعْبَدُ اللَّهُ بِشَيْءٍ أَفْضَلَ مِنْ طَلَبِ الْعِلْمِ” (tidak diibadahi dengan sesuatu yang lebih sempurna daripada hadis, artinya mempelajari hadis). Dan ini menjadi keistimewaan orang yang mempelajari hadis. Ketika ilmu itu yang dipelajari oleh para ulama dulunya adalah dalil, mereka mengumpulkan dalil untuk diamalkan. Dan poros dari ilmu adalah dalil itu sendiri. Maka mereka merasa bangga bahagia bisa mendapat kehormatan, kesempatan dari Allah untuk mempelajari hadis ini.

Sehingga أَهْلُ الْحَدِيثِ dari dulu dalam kitab syaraf sebutkan tentang Al-Imam Bukhari. Beliau mengatakan, “Suatu saat kita pernah bertiga atau berempat عَلَى بَابِ Abdillah Ali bin Abdillah mendatangi rumah guru kami yaitu Ali bin Madini.” Ketika mereka datang untuk mempelajari hadis maka guru mereka bahagia sekali. Beliau mengatakan seorang guru yang betul-betul dihormati oleh Bukhari. Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah sungkan, betul-betul malu di hadapan seorang seperti aku malu di depan Ali Ibnu Madinah.” Ketika beliau belajar dengan kawan-kawannya ke rumah gurunya yaitu Ali bin Ali mengatakan, “لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ” (hadis Nabi صلى الله عليه وسلم akan ada sekelompok orang yang akan dibela oleh Allah, akan menang terus, tidak akan dirugikan oleh orang yang tidak suka dengan mereka sampai menjelang hari kiamat). “Aku berharap tafsirannya adalah kalian.” Ketika beliau mengatakan orang-orang businessman, orang yang usaha, mereka sibuk dengan perdagangan mereka. Orang-orang yang memang ahli dalam membuat karya sibuk untuk mencari dunia dengan keahlian mereka. Para raja, pemilik jabatan, mereka sibuk dengan jabatan mereka. صلى الله عليه وسلم dan ini kehormatan. Tidak. Kita tidak mengatakan bahwa أَهْلُ الْحَدِيثِ adalah orang yang tertentu, tetapi setiap orang yang berusaha mempelajari dan mengamalkan bisa dikatakan mereka adalah أَهْلُ الْحَدِيثِ. Hanya saja orang-orang yang mempelajari hadis bertingkat-tingkat dan tingkatan para ulama jauh sekali dari kita. Akan tetapi seandainya kita bisa meniru mereka maka ini kemuliaan.

Dan menyebarkan ilmu menjadi tanggung jawab setiap kaum muslimin. Dan ini رَحْمَة (rahmah), inilah kasih sayang Allah. Ketika orang hidup dengan ilmu, mereka akan tenang, semangat ibadah mereka mantap dan sebagainya. Maka menyebarkan ilmu itu merupakan رَحْمَة, kasih sayang. Dari kata-kata Abu Hatim رَحِمَهُ اللَّهُ. Beliau mengatakan, “Ilmu adalah cara untuk menghidupkan ilmu itu.” Kita tahu ilmu itu bisa mati. Beliau pernah mengatakan kepada satu pembantunya, “اخْتَرْ” (kita keluar dari negara ini). “Ini negara yang tidak ada ilmunya, mati ilmu di sini ketika orang-orang tidak membicarakan ilmu dan jarang menanyakan tentang ilmu.” Dan ilmunya ilmu hadis. Kita bayangkan kalau seandainya tatanan masyarakat tidak mempelajari ilmu itu sehingga jarang sekali di tengah masyarakat, maka ilmu itu bisa dikatakan. Dan kita bisa membayangkan, menghayal semoga ilmu hadis itu tidak mati di zaman kita. Dan kita perlu memiliki tanggung jawab yang sama untuk menyebarkan, sosialisasikan agar kaum muslimin mereka mengenal ilmu ini tidak mati di tengah kaum muslimin. Dan ini yang benar kita berkali-kali sampaikan bahwa Islam atau sunah pernah menjadi asing di tengah orang-orang yang tidak kenal Islam dan itu wajar. Tetapi di akhir zaman ketika Islam yang benar sesuai dengan sunah Nabi صلى الله عليه وسلم asing di tengah orang-orang Islam sendiri, ini prihatin sekali. Maka kata Abu Hatim, “Hati-hati, menyebarkan ilmu merupakan sebab hidupnya ilmu.” وَالْبَلَاغُ مِنَ اللَّهِ رَحْمَةٌ (menyebarkan hadis Nabi صلى الله عليه وسلم merupakan rahmat dari Allah yang dijadikan pedoman pegangan untuk setiap mukmin). Semoga kita dituliskan menjadi orang-orang yang bisa menyebarkan sunah beliau صلى الله عليه وسلم. Dan kita ingin menyambut Ramadan sesuai dengan sunah Nabi صلى الله عليه وسلم. Berarti kita betul-betul harus akrab, sering mempelajari hadis Nabi صلى الله عليه وسلم. Ya mudah-mudahan kita apa namanya kita bisa قَضَاء lagi, mengqada qada kita.


Puasa Safar: Hukum dan Keutamaan

Kita membahas tentang masalah puasanya orang yang safar. Safar artinya bepergian yang membutuhkan modal atau persiapan. Kalau kita hanya mau ke pasar, Pakem sini, enggak ada orang bilang safar kemana yang berlebihan. Baik. Karena rata-rata kita adalah orang-orang yang suka nomaden ya, nomaden milenial, suka jalan-jalan. Sehingga pembahasan safarnya orang berpuasa ini penting sekali. Dan kita akan pelajari Ibnu Hajar رَحِمَهُ اللَّهُ menyebutkan bahwa Safar sambil berpuasa ternyata para ulama memiliki 6 pendapat. Kita akan mempelajari semua hadis yang berkaitan dengan ini yang disebutkan oleh Al-Hafiz Abdul Ghani Al-Maqdisi رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَىٰ.

Hadis yang pertama dari Abu Darda رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Rasulullah صلى الله عليه وسلم bertanya, “كَيْفَ تَصُومُ فِي السَّفَرِ؟” (Ya Rasulullah, Bolehkah aku berpuasa dalam keadaan Safar?). “إِنْ شِئْتَ صُمْتَ وَإِنْ شِئْتَ أَفْطَرْتَ” (Kalau kamu mau silakan puasa kalau kamu mau kamu berbuka artinya tidak berpuasa).

Kemudian yang kedua dari Anas bin Malik رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Beliau mengatakan, “سَافَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم” (kami melakukan perjalanan bersama Nabi صلى الله عليه وسلم). Dalam beberapa riwayat disebutkan, “kami melakukan perjalanan perang bersama Nabi صلى الله عليه وسلم.” Maka orang yang berpuasa tidak mencela atau menyalahkan orang yang tidak berpuasa dan orang yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang berpuasa.

Kemudian dari Anas bin Malik رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Beliau mengatakan, “خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ” (kami keluar melakukan perjalanan bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم di bulan Ramadan dan di panas yang sangat menyengat). Dan ini kita barangkali orang yang tidak pernah datang ke Arab Saudi tidak membayangkan panasnya bagaimana. Orang pada mengatakan panasnya Saudi sekarang sudah tidak panas dulu apalagi dibanding dengan Indonesia. Indonesia betul-betul panas sekali ini kalau perjalanannya naik unta bagaimana itu bisa mabuk-mabuk itu ya. Enggak biasa naik mobil ke gunung untuk mabuk itu barangkali naik unta setengah mati. Selama perjalanan dikatakan di sini perjalanan itu adalah perjalanan perang ya disebutkan dalam beberapa riwayat perjalanan perang Ramadan sampai sebagian kita meletakkan tangannya di atas kepalanya karena saking panas. Bisa jadi dia meletakkan untuk menutupi pandangannya dari panasnya matahari. Bisa jadi di atas kepala karena panas sekali. وَاللَّهُ أَعْلَمُ. “وَمَا مِنَّا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ” (Dan tidak ada di antara kami yang berpuasa satu pun kecuali dua orang Rasulullah صلى الله عليه وسلم dengan sahabat Abdullah Ibnu Rawahah).

Dan ini menunjukkan para ulama disebutkan مَزِيَّة-nya Abdullah karena beliau di tengah panasnya situasi cuaca perjalanan perang, kemudian semua sahabat tidak berpuasa. Kita tahu bahwa puasa Ramadan menjadi ringan ketika Anda di mana-mana dapat orang puasa apalagi dapat bukber di mana-mana lebih enak lagi. Maksudnya ketika Anda tidak sendirian melakukan sebuah ibadah maka ini menjadi ringan. Anda bayangkan dalam kondisi berat semua orang berbuka ternyata Abdullah puasa hanya bersama Rasul صلى الله عليه وسلم saja.


Hadis Keempat: Puasa yang Memberatkan Diri

Kemudian hadis yang keempat dari Jabir bin Abdillah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Rasulullah صلى الله عليه وسلم sedang berada di perjalanan maka beliau melihat kerumunan yang ditutupi atasnya ditutupi dengan payung atau sesuatu yang menghalau dari panasnya matahari. “مَا هَذَا؟” (Ada apa ini?). Dalam riwayat dikatakan dia sakit apa dikatakan. Dia tidak sakit sama sekali. Dalam beberapa riwayat dikatakan dia tidak sakit tapi dia puasa. “لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ” (bukan merupakan tindakan yang baik seseorang berpuasa yang dilakukan dalam perjalanan).

Dalam riwayat disebutkan وَلِمُسْلِمٍ: “عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ” (hendaklah kalian menerima keringanan yang Allah berikan kepada kalian). Dari Anas bin Malik رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Beliau mengatakan, “Kami melakukan perjalanan bersama Nabi صلى الله عليه وسلم maka kami berhenti di sebuah tempat dan kami semua merasakan kondisi dan musim itu sedang panas-panasnya. Orang yang paling bisa mengandalkan apa itu naungan atau penutup dari panas adalah orang yang memiliki pakaian lebih selendang atau kain yang luas sehingga bisa dijadikan sebagai untuk tempat di atas kepalanya.” Bayangkan berarti para sahabat mereka adalah orang-orang yang betul-betul status ekonominya pas-pasan kalau kita bandingkan dengan zaman sekarang. Tidak bisa. Taruhlah ada orang kepanasan zaman sekarang dia bisa lepas bajunya dia pasang itu di pohon sudah enak. Itupun kalau ada pohon musim panas di tengah padang pasir pohonnya juga kering kerontang. Tapi ada pohon memang ada pohon cuman pohon tidak bisa diharapkan seperti Indonesia ini. Pokoknya مَا شَاءَ اللَّهُ hijau semua. Anda puasa di bawah pohon اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ. Para sahabat mereka betul-betul pas-pasan sekali mereka yang bisa merasakan apa namanya bayang-bayang atau menutupi kepalanya adalah orang yang punya pakaian lebih luas bahkan sebagian kami hanya bisa menutupi kepalanya dengan tangan. Maka orang-orang yang tetap puasa tumbang alias كَادُوا أَنْ يُغْمَى عَلَيْهِمْ (kadu an yughma ‘alaihim). فَالْمُفْطِرُونَ (orang-orang yang tidak puasa) maka orang-orang yang tidak puasa mereka bangun maka mereka mulai mendirikan tenda dan memberi minum kendaraan-kendaraan dan tunggangan. Maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda, “ذَهَبَ الْمُفْطِرُونَ الْيَوْمَ بِالْأَجْرِ” (hari ini orang-orang yang tidak puasa mendapatkan pahala banyak sekali). Disebut saat ini yang mendapat pahala adalah orang-orang yang tidak berpuasa.

Apakah berarti yang puasa tidak dapat pahala? Dapat. Cuman kenapa yang dipuji orang lain tidak berpuasa? Karena orang-orang yang tidak berpuasa bisa melayani membantu saudara-saudara yang berpuasa. Maka yang dikatakan atau pahala di situ adalah pahala yang banyak. Mereka siap untuk berkorban tidak puasa. Yang kedua, mereka tidak menghina orang-orang yang berpuasa. Itu bayangkan Anda pulang dari sini ke daerah Sumatera. Anda berdua tasnya sama-sama berat mau naik pesawat takut overload bagasi. Naik bis ada snack makanan enak begitu kawan Anda enggak mau buka giliran pindah bis dia setengah mati ngangkat tas apa orang yang bilang berbuka tadi yang tidak minimal ngomong begitu kalau tidak sabar begitu. Atau dia mau ngangkatkan begini sudah masing-masing punya tanggung jawab barangnya. Artinya dengan tidak mencelanya mereka itu sudah paham. Kemudian yang berikutnya mereka memberikan pelayanan kepada orang-orang berpuasa yang mereka dapatkan adalah pahala yang banyak.

Hadis ini menjelaskan tentang hukum seorang yang melakukan perjalanan sambil puasa. Sebagian orang menyangka bahwa semua keringanan yang disebutkan di dalam puasa dalam keadaan perjalanan adalah puasa sunah yang disebutkan oleh Abu Muhammad. Keringanan yang ada pada puasa itu maksudnya puasa sunah. Akan tetapi ini dibantah dengan beberapa riwayat yang ada dalam hadis yang menafsirkan dalam hadis yang disebutkan oleh Abu Darda رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ dalam riwayat Muslim dikatakan, “خَرَجْنَا مَعَ النَبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي سَفَرٍ” (kita keluar bersama Nabi صلى الله عليه وسلم dalam perjalanan di bulan Ramadan). Ini menunjukkan bahwa semua pembahasan tentang keringanan yang ada pada puasa itu adalah puasa wajib juga, puasa Ramadan.


Puasa Safar: Perbedaan Pendapat Ulama

Kemudian disebutkan pada riwayat Abu Darda ini. Ini maksudnya adalah pertempuran yang kapan? Karena disebutkan itu dalam kondisi puasa. Apakah itu merupakan beberapa riwayat Imam Bukhari? Karena Imam Bukhari menyebutkan hadis-hadis tentang puasanya orang safar ini beberapa tempat di antaranya adalah bahkan Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan hadis ini di dalam صحيح-nya hanya di tempat ini di dalam كِتَابُ الْجِهَادِ (Kitabul Jihad) karena para sahabat membantu sahabat lain yang berpuasa untuk menyiapkan keperluannya dan itu dalam keperluan jihad. Maka ini merupakan salah satu hadis yang diletakkan oleh Imam Bukhari tidak pada kebiasaan orang. Kalau membahas tentang puasa langsung jadi كِتَابُ الصَّوْمِ (Kitabus Saum). Tapi kalau tidak ahli mencari صحيح البخاري maka dia akan kelewatan hadis ini karena ternyata Imam Bukhari membahas dalam كِتَابُ الْجِهَادِ. Zaman sekarang atau Googling gampang ketemu semua. Akan tetapi اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ hadis ini menyebutkan kira-kira pertempuran itu terjadi di فَتْحُ مَكَّةَ (Fathu Makkah) karena terjadi di bulan Ramadan. Dalam sebuah riwayat dari Umar Bin Khattab رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Beliau mengatakan bahwa pertempuran yang terjadi di bulan Ramadan ada dua, yang satu غَزْوَةُ الْبَدْرِ (Ghazwatul Badr) yang satu فَتْحُ مَكَّةَ.

Kata Hafiz Ibnu Hajar, “Aku pernah tafsirkan kejadian Abu Darda ini adalah di perang فَتْحُ مَكَّةَ tetapi aku تَرَاجَعْتُ (taraja’tu) aku rujuk. Karena ternyata yang kejadian akhirnya وَمَا مِنَّا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدُ اللَّهِ (dan tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan Abdullah). Abdullah meninggal sebelum مُؤْتَةَ (Mu’tah) sama terjadi di tahun ke-8 Hijriah sama di tahun itu. Akan tetapi kejadiannya sebelum Hajar. Tidak mungkin hadis yang dimaksud adalah karena Abdullah sudah meninggal dan itu tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa Abdullah meninggal di perang Mu’tah dan perang Mu’tah terjadi sebelum berarti bukan. Tidak mungkin terjadi juga kejadian ini di Perang Badar. Kenapa? Karena Perang Badar Abdullah belum masuk Islam. Berarti ada kejadian lain dan ini yang disebutkan oleh sebagian ulama meneliti hadis bisa dicarikan secara sejarah. Apakah ini seperti ini dan seperti itu? Akan tetapi وَاللَّهُ أَعْلَمُ bukan berarti hadis itu dinyatakan ضَعِيف karena bertentangan dengan sejarah. Itu salah itu bukan metode مُحَدِّثِين (muhaddisin). Kenapa hadis itu lemah? Karena tidak sesuai dengan sejarah? Tidak seperti itu. Teliti sanadnya setelah itu. Kapan kejadiannya? Ini tidak menunjukkan bahwa tidak tapi kapan terjadinya. Dan sebenarnya kita salah menempatkan saja ini jangan-jangan kejadian perang Badar atau kejadian pas فَتْحُ مَكَّةَ dia terlalu ngefek. Yang penting kan hukumnya. Kapan terjadi tak penting barangkali menjadi penting kalau akhirnya ada نَاسِخٌ وَمَنْسُوخٌ (nasikh wa mansukh). Itu baru jadi.

Di sini berarti menunjukkan bahwa hadis ini membolehkan seseorang, semua yang kita pelajari membolehkan seorang untuk tidak berpuasa dalam kondisi safar. Tetapi ketika ada orang ingin melakukan puasa di tengah perjalanan pun tidak mengapa, tidak mengapa. Hajar menyebutkan bahwa para ulama salaf pun sempat berbeda pendapat dalam hal ini karena semua berangkat dari dalil bukan dengan keinginan hawa nafsu dan sebagainya. Mereka berangkat dari dalil dalam memahami dalil itu mereka mengambil kesimpulan berbeda.

  1. Pertama mengatakan bahwa berpuasa dalam kondisi perjalanan haram. Artinya apa? Konsekuensinya kalau ada orang melakukan perjalanan kemudian dia berpuasa, maka dia harus ini yang disebutkan seperti itu karena Nabi صلى الله عليه وسلم menyatakan, “لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ” (tidak merupakan orang yang melakukan puasa dalam keadaan safar). Itu biasanya dilawan. Katakan dengan hadis dikatakan ketika sahabat bertanya tentang kemudian wajib تَتَلَمَّسُونِي merupakan antonim yang suka berseberangan. Berarti kalau Rasul صلى الله عليه وسلم mengatakan puasa dalam kondisi safar tidak merupakan kebaikan, berarti dia puasanya dosa. Kalau orang melakukan puasa kok dapat dosa berarti puasanya haram.
  2. Ada lagi hadisnya yang mengatakan ada hadis yang mengatakan demikian, “Orang yang melakukan puasa sambil melakukan Safar dia hakikatnya seperti orang yang sengaja tidak puasa dalam keadaan tidak safar.” Tapi hadis itu lemah, hadis itu lemah. Hajar ini pendapat pertama dan ada lawan dari pendapat itu yaitu pendapat yang mengatakan bahwa orang wajib berpuasa tidak boleh membatal sekalipun safar kecuali orang yang takut mati karena kalau puasa dalam kondisi nanti. Nah itu boleh membuka, berbuka puasa. Kalau enggak maka hukum asalnya dia wajib berpuasa seperti orang-orang lain ya. Nah ini pendapat kedua.
  3. Pendapat ketiga mengatakan bahwa ini para ulama اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ ini yang dinukil oleh mazhab hanya mereka mengatakan karena puasa kemudian membatalkan atau dibatalkan karena safar adalah رُخْصَة. Maka dalam hadis ini dikatakan, “عَلَيْكُمْ بِرُخْصَةِ اللَّهِ الَّتِي رَخَّصَ لَكُمْ” (hendaklah kalian ambil dan terima keringanan dari Allah yang telah diberikan kepada kalian). Ini mirip dengan mengqasar salat. Itu adalah sedekah yang Allah berikan. “Terima sedekah Allah itu kan.” Dalam hadis lain dikatakan yang lain Allah suka kalau memberi keringanan diterima oleh hamba Allah sebagaimana Allah juga suka ketika perintahkan sebuah kewajiban-kewajiban itu dilakukan atau sebuah keharaman ditinggalkan. Maka pendapat Hanabilah ini mengatakan kalau Anda melakukan perjalanan lalu Anda pengen berpuasa قَضَاءَ tapi yang lebih أَفْضَلُ Anda berpuasa. Afwan, berbuka, berbuka alias tidak puasa sekalipun Anda tidak merasakan kelaparan dan kesulitan.

رَحِمَهُ اللَّهُ. Beliau pernah melakukan perjalanan ke sebuah kota naik pesawat juga dan hampir magrib. Beda dengan orang yang tidak atau masih jauh dari magrib. Beliau hampir magrib. Beliau tahu mengatakan, “Ambil air Syekh ntar lagi sih ambil air karena pengen ambil رُخْصَة.” Dan beliau akhirnya berbuka. Belum tahu kalau naik pesawat itu kalau arahnya ke arah barat maka Anda bisa menambah jatah puasa. Karena pernah ketika mau pulang ke Madinah kita pesawatnya mundur sampai jam 4 sore. Akhirnya kita naik jam 4 karena pesawatnya ngejar matahari. Akhirnya biasanya di Jakarta itu jam 6 sudah buka kita baru ingat buka puasa Jam 9 malam mataharinya begini kejar. Dan para ulama mengatakan, “Bagaimana hukumnya kalau begini?” Kan yang dijadikan patokan adalah matahari. Sempurnakan puasa sampai malam hari. Malam hari dimulai dengan terbenamnya matahari. Kalau belum terbenam maka belum malam. Mengatakan ini berlaku kaidah sesuatu yang tidak berubah itu tetap pada sifat aslinya. Kalau seandainya yang siang hari dia sangka ini kayaknya sudah terbenam matahari karena mendung misalkan. Maka para ulama mengatakan kalau akhirnya dia berbuka dia berbuka kemudian tahu-tahu ah mataharinya belum terbenam maka dia batal puasanya, batal puasanya. Karena hukum asalnya siang hari masih ada.

Tapi kalau dia malam hari enggak ngerti enggak ada yang ada nih tiduran semua DM-nya misalkan begitu. Bingung ini sudah sahur atau sahur aja dia. Dia enggak ngerti sudah azan atau belum. Nah ternyata dia masih makan. Kemudian selesai setelah itu baru dia tahu ada di sebelahnya jam eh ternyata ada jam di sebelah kamar kita. Kita sudah nginep 5 hari jadi enggak ngerti kalau di rumah ini ada jamnya misalkan lihat jam ternyata itu sudah jam masuk waktu fajar. Ini juga sama mengatakan seperti itu. Hukum asalnya malam hari masih tetap pada waktunya maka tidak batal puasanya. Dia bisa menyempurnakan puasanya. Baik. Yang naik pesawat ini bagaimana ya? Mengatakan kalau seandainya dia di bawah masih sore belum magrib maka dia harus sabar sampai matahari itu betul-betul merubah suasana sudah menjadi malam. Tapi kalau seandainya dia sudah berbuka di bawah sudah jam 6 kemudian sudah azan lalu dia berbuka sekalipun bukannya sudah nongkrong di atas pesawat nongkrong di atas pesawat kemudian dia buka selesai rampung pesawat naik lagi kelihatan lagi mataharinya. Nah seperti para ulama mengatakan tidak apa-apa dia melanjutkan iftarnya karena hukum asalnya dia sudah kembali kepada aktual yang mengatakan tentang hukum puasa.


Puasa Safar: Memilih Antara Berpuasa atau Berbuka

Ada sebagian ulama mengatakan diserahkan sesuai dengan yang ringan atau yang mudah untuk orang yang mengerjakan. Kalau seandainya saya lebih suka atau lebih pengen puasa karena itu lebih enak untuk saya. “Kok bisa puasa lebih enak?” Karena kalau saya puasa sekarang saya punya kawan banyak. Saya pernah naik pesawat, naik pesawat yang itu tadi kejadian tadi itu. Jadi jam 9 itu itu enggak ada yang buka sama sekali kecuali kayaknya satu orang kayaknya satu orang pramugari lewat nawarin dia. Dia melihat gitu tapi semuanya enggak ada yang ambil akhirnya dia sendirian dia enggak makan. Maksudnya ketika bulan Ramadan orang semua rata-rata puasa jadi dia lebih ringan. Bagaimana kalau seandainya dia keluar dari bulan Ramadan dia harus mengqada, dia sendirian dia akan merasa berat. Maka sesuai dengan dalil, “يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ” (Allah menginginkan kebaikan, kemudahan kepada kalian dan tidak menginginkan kesulitan untuk kalian). Maka seperti ini dia lebih suka atau dipersilakan untuk berpuasa. Tapi kalau menurut dia safar di bulan Ramadan payah sekali dia enggak mampu untuk apa namanya melakukan perjalanan sebagaimana mestinya bisa jadi dia motong di tengah jalan setengah mati. Maka tidak apa-apa dia berbuka.

Kemudian pendapat jumhur dan ini yang didapatkan oleh seseorang hukum asalnya lebih أَفْضَلُ berpuasa. Berpuasa, “وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ” (Ketika engkau berpuasa itu lebih baik daripada berbuka untuk kalian seandainya kalian mengetahui). Tapi kalau seandainya seseorang khawatir dirinya sakit, lemah, kemudian dirugikan maksudnya dirugikan artinya dia malah apa terkena sesuatu yang mengandung مَضَرَّة (madarrah) maka rubah pada saat itu فِطْرُهُ أَفْضَلُ (berbuka atau tidak puasa lebih afdal) untuk orang yang seperti ini. Tapi hukum asalnya berpuasa lebih untuk orang yang apabila dia berpuasa dia menjadi riya. Kalau dia berpuasa dia akan riya maka orang seperti ini lebih أَفْضَلُ berbuka. Contohnya misalkan dia sudah tahu hadis tentang puasa hanya berdoa bersama kawan-kawannya ini sudah batal puasa semua tinggal dia sendirian. Dia pengen menunjukkan sempat terpadu sama kawannya, “Siapa yang kuat di antara kita yang mau puasa?” Apalagi ada yang lain. Artinya dia punya target yang lain untuk itu sehingga dia memiliki kemungkinan untuk riya maka seperti ini kata Hajar yang berbuka atau orang yang menyangka bahwa tidak ada keringanan dalam Islam. Dalam Islam banyak terjadi keringanan-keringanan tapi dia ingkari itu. “Tidak ada keringanan seperti itu.” Maka ketika ada orang tidak menyadari, tidak meyakini adanya keringanan dalam Islam maka orang ini justru dipaksa untuk mengambil keringanan itu agar dia tidak mengingkari. Ini mirip pembahasan yang pernah kita bahas tentang menyebutkan karena sampaikan apa enggak dulu. Hajar mengatakan bahwa mengusap alas kaki ketika berwudhu ini sunah akan tetapi bisa menjadi wajib untuk orang yang mengingkari sunah itu. Orang mengatakan, “Masa kayak gini main-main aja.” Agar dia tidak terbiasa dengan keangkuhan menolak sunah Nabi صلى الله عليه وسلم.

Dan dalam hal ini juga sama ketika ada keringanan dalam Safar agar boleh untuk tidak berpuasa dia angkuh, “Ah enggak ada kayak gitu anak enggak butuh.” Ketika dia tidak butuh seperti itu maka dia wajib untuk berpuasa apa berbuka untuk tidak berpuasa. Ada kondisi keempat yaitu untuk orang yang di tokohkan dan ditiru. Untuk orang yang ditiru ketika dia tidak berpuasa kemudian diikuti oleh kaum muslimin padahal kaum muslimin kalau seandainya berpuasa berat. Tapi karena mereka misalkan Safar barang Anda perjalanan jauh ini yang masih muda saja dia enggak batal masa kita yang tua anak muda pada saat seperti itu maka sang tokoh ini perlu mengambil sikap yang bijak. Seandainya dia memperhatikan orang-orang yang mencontoh dia ternyata berat maka أَفْضَلُ-nya untuk orang seperti ini berbuka. Dan ini yang juga disebut oleh Imam Al-Bukhari رَحِمَهُ اللَّهُ sampai Al-Imam Al-Bukhari memberikan judul tertentu dalam صحيح-nya. Beliau menyebutkan dalam صحيح البخاري dengan pernyataan beliau بَابُ الصَّوْمِ فِي السَّفَرِ (Babun Safari) (pembahasan tentang orang yang sengaja berbuka agar orang-orang lain melihat dia berbuka). Ini tentunya Nabi صلى الله عليه وسلم karena pembahasannya adalah hadis-hadis. Akan tetapi ini menunjukkan pemahaman Al-Imam Al-Bukhari bahwa orang yang dijadikan tokoh dicontoh maka seandainya dia memperhatikan para pengikutnya ternyata enggak kuat untuk puasa tapi mereka betul-betul menjadikan sang tokoh ini sebagai tumpuan maka seandainya dia berbuka itu lebih أَفْضَلُ mencontoh dari keteladanan Nabi صلى الله عليه وسلم. [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik] [Musik]


Puasa Safar: Kondisi dan Pilihan yang Lebih Baik

Kita katakan bahwa pendapat yang وَاللَّهُ أَعْلَمُ رَاجِح adalah pendapat جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ bahwa puasa orang yang melakukan perjalanan selama dia kuat maka yang lebih أَفْضَلُ adalah berpuasa. Akan tetapi untuk orang yang tidak mampu, tidak kuat maka tidak apa-apa seseorang membatalkan puasa bahkan ketika seseorang sakit parah bahkan memaksakan diri maka ini tidak termasuk kebaikan ketika dia berusaha untuk berpuasa. Sebagian ulama tadi yang mengatakan bahwa apa namanya orang yang berpuasa wajib berbuka. Ini pendapat siapa tadi?

Allah mengatakan kalau ada orang yang berpuasa dalam kondisi safar maka puasanya tetap batal dia harus mengqada. Mereka punya alasan dari orang yang berpuasa dalam keadaan safar tidak melakukan kebaikan. Yang kedua kita sebutkan tadi bahwa hadis itu memiliki sebab. Hajar mengatakan bahwa penyebabnya adalah ketika ada orang yang sakit ditanya oleh Nabi صلى الله عليه وسلم ketika عَلَيْهِ ada orang yang sampai di apa ditutupi kepalanya, “Ada apa ini?” “Puasa.” Akhirnya berarti pernyataan itu karena ada sebabnya melihat ada orang sampai betul-betul ngerasain masyarakat kesulitan sekali. Nah alasan mereka yang memiliki pendapat pertama tadi mereka juga mengambil dalil firman Allah, “فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ” (Barangsiapa yang sakit atau safar maka dia mengganti hari yang berarti itu perintah puasa itu hanya untuk orang yang sehat dan tidak safar). Sementara orang yang sakit atau safar maka kewajiban dia adalah berbuka dan nanti kewajibannya adalah mengqada. Kok tidak dia lakukan maka dia diwajibkan tetap untuk mengqada sekalipun dia memaksa puasa di bulan Ramadan. Tapi جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ mengatakan tidak seperti itu memahaminya.

Memahaminya dalam ayat itu bisa ditafsirkan yaitu مَنْ كَانَ مِنْكُمْ kalau dia sakit atau dia safar sampai enggak bisa puasa maka baru dia mengganti di hari yang lain. Kalau dia sakit kemudian dia safar tapi dia tetap bisa melakukan puasa enggak bisa ganti gitu. Artinya اِسْتِدْلَال (istidlal) dengan ayat itu tidak pas. Kemudian tadi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa yang lebih أَفْضَلُ adalah berbuka. Kenapa? Karena Rasul صلى الله عليه وسلم lebih memilih tidak berpuasa. Dan ini disebutkan dalam صحيح مسلم dengan sanadnya Ibnu Syihab Az-Zuhri mengatakan dalam riwayat Muslim Tadi riwayatnya disebutkan berbuka puasa alias tidak puasa itu menjadi pilihan terakhir dari Nabi صلى الله عليه وسلم. Tapi ini dijawab oleh Hajar ini pendapat saja ini pendapat Az-Zuhri saja padahal tidak seperti itu. Maka kita katakan tadi bahwa kapan terjadinya perang itu tidak terlalu ngefek kecuali dalam urusan نَاسِخٌ وَمَنْسُوخٌ (nasikh wal mansukh). Kalau kita tahu bahwa kejadian itu ternyata belakangan sebelum Nabi صلى الله عليه وسلم meninggal berarti ini bisa menghapus hukum sebelumnya. Kalau berbeda dalam hal ini mengatakan berbuka puasa ketika safar itu menjadi pilihan terakhir Nabi صلى الله عليه وسلم maka dipahami ini menghapus anjuran berpuasa dalam safar. Tapi kata Hafiz Ibnu Hajar ini pendapat beliau saja menyelisihi dubur bahkan ada dalil yang bertentangan dengan itu yaitu disebutkan dalam صحيح مسلم dari Abu Said Al-Khudri رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ. Beliau mengatakan, “Kami melakukan perjalanan bersama Nabi صلى الله عليه وسلم ke Mekkah dan itu untuk perang, untuk perang mereka perjalanan Para Rasulullah صلى الله عليه وسلم.” “Dan kita semua puasa.” Kemudian kami berhenti di sebuah tempat. “فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّكُمْ مُصَبِّحُو عَدُوٍّ، وَالْفِطْرُ أَقْوَى لَكُمْ” (maka Nabi صلى الله عليه وسلم mengatakan kalian sudah dekat nih sama musuh. Kalau kalian berbuka, kalian tidak puasa, ini bisa lebih kuat untuk menyongsong musuh). Maaf keliru, maka silakan kalian membatalkan. Tapi kata Abu Sayyid Al-Khudri رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ, “Tapi waktu itu kami masih memandang itu رُخْصَة atau keringanan yang mau berbuka silakan yang mau tetap puasa silakan.” Maka sebagian Kami tetap puasa sebagian yang lain berbuka. Kemudian setelah itu kita jalan lagi kemudian kita berhenti di sebuah tempat istirahat lagi. صلى الله عليه وسلم kita sudah akan ketemu sama musuh maka berbuka lebih kuat untuk kalian berbukalah. Kata Abu Sayyid Al-Khudri, “Perintah yang kedua ini perintah lebih tegas maka kami pun berbuka setelah itu.” “ثُمَّ رَأَيْنَا أَنَّا قَدْ أَفْطَرْنَا بَعْدَ ذَلِكَ” (Setelah itu kami melihat bahwa kami masih sempat melakukan puasa di tengah perjalanan bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم).

Ini menunjukkan bahwa nasihat yang dipahami Az-Zuhri keliru karena buktinya setelah kejadian itu pun Rasul صلى الله عليه وسلم masih sempat melakukan perjalanan sambil puasa bersama para sahabat. Ini menunjukkan bahwa bukan akhir Rasulullah صلى الله عليه وسلم berbuka dalam perjalanan perang فَتْحُ مَكَّةَ atau yang semacamnya itu itu berarti bukan akhir akan tetapi masih sempat setelah itu beliau juga puasa. Ini menunjukkan bahwa kejadian ini tetap kembali pada رَأْيُ الْجُمْهُورِ (ra’yul jumhur). Kemudian ada yang mengatakan tadi Hafiz Ibnu Hajar mengatakan untuk orang yang takut riya.

Bagaimana kok dia lebih أَفْضَلُ untuk berbuka? Ini disampaikan dari sebuah أَثَر (atsar), sebuah أَثَر dari Abdullah bukan bukan dari Abdullah bin Umar akan tetapi dari Abdullah bin Umar. Ada seorang minta saran. Kemudian kata Abdullah bin Umar, “إِذَا سَافَرْتَ فَلَا تَصُمْ، فَإِنَّكَ إِذَا صُمْتَ قَالُوا: هَذَا صَائِمٌ فَأَعَانُوهُ” (Ida Safar) (kalau kamu melakukan perjalanan kamu jangan puasa). “Karena kamu kalau tetap memaksakan diri puasa orang-orang akan mengatakan, ‘Oh ini puasa kasihan, ayo kita bantu, ayo kita siapkan semua keperluannya’.” Kamu akan terus seperti itu sampai pahalamu bilang kayak raja. Kenapa? Karena puasa sendirian yang lain tidak puasa. Saya yang paling أَفْضَلُ karena saya puasa kalian jadi bantuan. Jangan seperti itu. Sampai kamu bisa jadi justru hilang seperti itu.

Kemudian masalah orang yang menolak رُخْصَة ini juga dinukil dari Ibnu Umar. Menyebutkan bahwa Abdullah bin Umar رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا sempat mengatakan, “مَنْ لَمْ يَقْبَلْ رُخْصَةَ اللَّهِ، فَقَدْ وَقَعَ فِي خَطَإٍ كَبِيرٍ” (malam yang tidak menerima keringanan dari Allah maka dia memiliki dosa seperti gunung yang ada di Arafah). Artinya keangkuhan dia untuk merasa aku tidak butuh dengan keringanan dari Allah ini, ini sombong sekali. Maka harus dipecahkan dengan wajib menerima رُخْصَة dari Allah سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ. Belum kan masih ada kan masih ada 2 menit.


Tanya Jawab: Hukum Fikih Kontemporer dan Motivasi Belajar

Ini yang dapat kita pelajari semoga bermanfaat dan kurang lebihnya mohon maaf. Ada beberapa pertanyaan. Pertanyaan yang dulu dulu ya sampai saya kumpulkan seperti ini.

Pertanyaan: Apa benar mencuci bekas apa ini jilatan anjing hanya dalam hal bejana saja yang lain tidak perlu tujuh kali?

Jawab: Ini ada خِلَاف di antara ulama. Sebagian ulama mengatakan bahwa jilatan anjing itu sifatnya karena najis atau sebabnya karena najis dan ini pendapat جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ. جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ mengatakan karena itu najis sehingga berlaku untuk semua yang dijilat, enggak bejana, pakaian, kulit dan sebagainya. Tapi menurut Malikiyah mereka katakan hukum asalnya anjing itu suci sehingga apa yang disebutkan dalam hadis anjing maka cucilah 7 kali itu تَعَبُّدِي (ta’abudi). Itu adalah perintah yang sifatnya ibadah tidak bisa مَعْلُولُ الْمَعْنَى (ma’lulul ma’na) tidak bisa dicerna akal. Maka tidak boleh dikiaskan ke yang lain. Mereka katakan yang 7 kali itu kalau bejana dan dijilat anjing saja. Kalau dikencingi anjing dan yang dikencinginya adalah pakaian maka cukup sekali atau tiga kali seperti itu. Tapi جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ mengatakan tidak.

Pertanyaan: اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ. Apa hubungannya puasa dengan menjaga diri bagi yang jomblo ya?

Jawab: Karena para ulama menyatakan ketika seorang berpuasa maka syahwatnya akan menyempit. Syahwatnya akan menyempit maka dia akan lemah untuk melakukan maksiat. Kata Hafiz Ibnu Hajar, “Terkadang ada orang yang dia puasa tambah kenceng nih syahwatnya.” Itu adalah kondisi yang jarang. Tapi setelah dia melakukan puasa terus-menerus maka dia akan menjadi normal ketika dia puasa syahwatnya akan menurun.

Pertanyaan: Apa itu أُصُولُ الْمَذْهَبِ (usulul mazhab) adalah yang dijadikan kaidah dalam beberapa mazhab?

Jawab: Diambil dari dalil dalil yang banyak mereka simpulkan sehingga masing-masing mereka memiliki kaidah dalam mazhabnya. Seperti contohnya وَاللَّهُ أَعْلَمُ yang pernah diajarkan oleh guru kami أُصُولُ الْمَذْهَبِ Syafi’i. Kalau seandainya ada doa yang satu ini semua صحيح semuanya صحيح yang satu pendek yang satu panjang maka mereka akan memilih yang panjang karena itu lebih أَفْضَلُ. Maka dalam Mazhab Syafi’i Imam Syafi’i itu mengatakan bahwa دُعَاءُ الْاِسْتِفْتَاحِ (du’a al-istiftah) adalah اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ (Allahumma ba’id baini wa baina khatayaya). Ini hadis Abu Hurairah akan tampil mereka lebih memilih hadis صحيح مسلم karena mereka menjadi faedah itu. Maka mereka pilih doa yang panjang itu. Intinya أُصُولُ الْمَذْهَبِ seperti itu.

Pertanyaan: Apakah benar seorang belajar agama harus dengan guru yang bersanad?

Jawab: وَاللَّهُ أَعْلَمُ ini pernah ditanya kepada Syekh Abdul Muhsin. Kalau seandainya Anda tidak punya sanad pun kalau seandainya ilmu yang dimiliki bisa dipertanggungjawabkan sesuai dengan dalil maka tidak mengapa. Kalau punya sanad tapi seseorang merasa bangga dengan sanad akhirnya dia tertipu tidak memiliki itu. Dan Hafiz Allah apa enggak? Kata beliau punya. Tapi beliau tidak ingin menyebarkan itu karena kebanyakan orang mencari sanad sampai lebih semangat dari mempelajari hadis itu sendiri. Ketika ada sanad semangat sampai menumpuk di jalan-jalan karena cari sanad seperti itu karena mereka tahu belajarnya sebentar maksimal seminggu dibaca rampung. Padahal dia paham enggak paham yang penting selesai lalu bendera gini. Nah ini jangan sampai tertipu. Bukan berarti sanad tidak penting. Penting itu bahkan itu merupakan sunah mencari apa namanya atau menjadi sanad yang tinggi menjadi kebiasaan para ulama ahli hadis dari sejak dulu maka tidak apa-apa hanya jangan sampai tertipu seseorang.

Pertanyaan: Bagaimana cara tips agar benar-benar mendapatkan kesempatan bertemu dengan bulan Ramadan?

Jawab: Belajar, belajar, kemudian mempersiapkan dengan kebiasaan badan. Karena seorang kadang-kadang kaget berpuasa hari pertama جَبْرَة (jabrah) atau kuliah bolos karena dia puasa. Memang itu adalah عُذْر (udzr) yang tidak bisa diterima. Akan tetapi tidak bisa apa namanya diingkari ketika orang ketiduran hari pertama puasa enggak sempat sahur mau apa ada pernah kayak begitu di جَامِعَةُ الْإِسْلَامِيَّةِ. Saya cuma bayangin aja habis teraweh selesai jam 11.00 pulang ngomong sama orang Afrika, “Ini enaknya kita tahu-tahu ketiduran aja.” سُبْحَانَ اللَّهِ bener ketiduran kawan Anda di pintu bilang ya musim panas. Jadi kita bukanya jam 7 habis Asar jelek itu. Habis Asar enggak bisa gerak sama sekali ada tidur sampai orang pada bangunan. Dalam hadis dikatakan, “Orang berpuasa memiliki dua kebahagiaan itu ketika dia berbuka dan ketika dia bertemu dengan.” Ya mungkin di sini tambah tiga ketika sahur karena menunya. Mudah-mudahan.

Pertanyaan: Bagaimana hukum orang yang sengaja melakukan sahur ketika muazin mengumandangkan azan? Apakah dia melanjutkan puasanya atau membatalkan?

Jawab: Ada hadis yang mengatakan, “إِذَا نَادَى الْمُنَادِي وَأَحَدُكُمْ فِي يَدِهِ إِنَاءٌ مِنْ مَاءٍ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ” (apabila kalian sedang minum dan ada bejananya atau gelasnya di tangannya dan Kalian dengar azan maka selesaikan). “Selesaikan sampai dia apa namanya habiskan air yang ada di situ.” Tidak apa-apa. Dan dalam hadis yang lain dikatakan Umar Bin Khattab pernah memegang air kemudian apa namanya fajar terbit dan beliau bersama Rasulullah صلى الله عليه وسلم. “Ya Rasulullah, Bolehkah aku minum sekarang?” “Minum saja.” Tapi mengatakan itu kalau minuman itu. Kalau minuman kemudian kalau itu sudah tinggal menyempurnakan bukan yang dari awal. Nah sebagian orang berlebih-lebihan dia katakan enggak apa-apa. “Yang penting kan kita menurunkan sunah.” Enggak apa-apa dilanjutkan. Kemudian yang lebih Allah itu di akhir waktu. Akhirnya dia baru mulai makan ketika akan azan dengan mulai makan gitu. Ini salah ya Sulaiman. Enggak boleh kayak gitu, enggak boleh apa. Jawa sudah.

Pertanyaan: Jika Jawa sudah lihat Hilal dan Sumatera belum bagaimana Ustaz?

Jawab: Kita pernah bahas bahwa melihat Hilal memang ada tulisan dan para ulama tempat terbit atau tidak. Tapi yang kita kuatkan وَاللَّهُ أَعْلَمُ ini mendapat yang lebih tenang adalah masing-masing negeri memiliki مَطْلَع pribadi. Buktinya seperti tadi tempat dan waktu salat kita berbeda waktu salat kita lebih cepat 4 jam. Maka sangat wajar kalau seandainya ada terjadi perbedaan antara kita dengan mereka. Wajar sekali seperti itu. Mudah-mudahan bermanfaat kurang lebihnya mohon maaf.

Pertanyaan: Saat yang masih ramai di masyarakat tentang penetapan Ramadan dengan Hilal atau hisab. Anggaplah pendapat terkuat pakai Hilal maka kau Anggaplah yang pakai Hilal maka hilalnya yang global atau lokal?

Jawab: Ini sama sudah kita bahas kemarin bahwa masing-masing negara memiliki mata tempat terbit karena ada yang pakai رُؤْيَة global di Indonesia itu masing-masing ya. Anda enggak bisa memaksakan kalau seandainya Anda bisa nasihati اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ kalau tidak tidak menjadi kewajiban Anda untuk memaksa orang lain, “Eh Anda dengerin nasihatnya.” Seperti itu kalau diterima اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ.

Pertanyaan: Kita sudah salat sunah seperti tahiyatul masjid atau Duha. Ternyata kita belum wudu atau masih junub. Namun kita mengetahuinya keesokan harinya. Apakah kita harus mengulang salat tersebut?

Jawab: وَاللَّهُ أَعْلَمُ Iya karena hukum asalnya dia salat tidak dalam kondisi طَهَارَة (taharah).

Pertanyaan: Apa itu jual beli عِيْنَة Ustaz? Apakah riba?

Jawab: Iya riba. Dan itu adalah cara atau gambaran untuk حِيْلَة (hilah) atau tipu tipu menipu dalam melakukan jual beli. Contohnya misalkan begini. Kalau Anda bilang sama Anda, “Saya pinjam ke Anda uang seribu.” Akan bilang ke saya, “Tapi nanti Anda bayarnya 2000 ya.” Maka kita enggak jadi melakukan itu. Tapi pakai cara yang lain. Saya punya bolpen kata Anda. Anda ngomong sama saya, “Saya punya pulpen. Pulpen ini Anda beli 2000.” “Bayarnya kapan?” “Bayarnya bulan depan enggak papa.” “Sudah kalau sudah dapat kiriman dari orang tua Anda bayar 2000 pulpen itu.” Kemudian Anda ngomong lagi sama saya, “Sekarang mau beli lagi pulpen ini harganya 1000 tapi sekarang Anda beli tapi Anda belum bayar.” “Bayarnya kapan?” “Bulan depan.” “Sekarang Anda minta lagi pulpen itu tapi Anda mau membeli dengan harga 1000 sekarang.” “Anda kembalikan lagi Anda terima 1000.” Hukum asalnya saya mau minjem 1000 tapi bulan depan bayar 2000. Caranya kayak gitu. Itu namanya yang di kelas kemarin ngejelasin pakai bahasa Arab.

Pertanyaan: Ini masih di bangku sekolah dasar saya sering bermain ke kebun orang lain dan قَدَرُ اللَّهِ waktu itu saya juga makan buah-buahan yang ada di sana tanpa izin dari pemiliknya. Yang mau saya tanyakan Bagaimana cara tobat dari dosa tersebut? Setia makan buah di kebun orang lain apakah cukup dengan bertaubat dan menyesali perbuatan atau saya harus meminta kerelaan pemilik kebunnya?

Jawab: Tapi kejadian ini terjadi waktu saya masih SD dan belum paham. Anda mungkin cari yang punya kebun. Anda dinikahkan sama anaknya kayak cerita itu. Tahu kan Anda ceritanya. Siapa tahu Anda dapat itu. Jadi tobat kata para ulama dia kalau seandainya berkaitan dengan hak orang lain maka dia perlu mengembalikan. Dan para ulama mengatakan kalau seandainya melakukan anak kecil dia mencuri maka dia tidak berdosa tapi tetap mengembalikan itu walinya yang bertanggung jawab. Nah dan إِنْ شَاءَ اللَّهُ kalau Anda minta maaf karena dulu masuk kebun Anda. “Saya makan jambu.” Enggak apa-apa itu.

Pertanyaan: Jadi tinggal minta maaf saja Ustaz. Kebanyakan orang di kampung ketika puasanya hanya berlima 29 mereka mencukupi puasa tersebut agar sampai 30 hari maka mereka menambahnya dengan berpuasa di hari ini dan mereka tidak berbuka kecuali setelah salat Ied itu. Apakah ada hadis yang?

Jawab: Enggak boleh ya. Enggak boleh ini melakukan dua pelanggaran sekaligus. Yang pertama dia melakukan apa namanya pelanggaran terhadap hadis. Jadi dia apa namanya tidak hari raya dengan melihat Hilal tapi pokoknya dengan 30 hari, salah. Yang kedua Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang puasa dua hari yaitu dua hari lahir. Mudah-mudahan bermanfaat kurang lebihnya mohon maaf. صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.